Kamis, 21 April 2011

Problematika PAI


BAB I
PENDAHULUAN
Proses Implementasi kurikulum 2004 yang telah mendapatkan penyesuaian menjadi model pengelolaan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006 di Madarasah belum secara keseluruhan menjangkau tiap guru bidang studi pendidikan agama Islam. Hal ini diperkuat oleh suatu kenyataan bahwa perangkat konseptual kebijakan kurikulum ini justru belum dimiliki secara utuh oleh sekolah. Persoalan lain dalam proses implementasi kurikulum ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, sikap dan ketrampilan guru yang beragam, termasuk faktor kualifikasi, latar belakang pendidikan, pengalaman inservice training atau pelatihan serta pembinaan yang diterima guru di Madasah.
Persoalan lain yang menjadi kendala dalam implementasi isi kurikulum menyangkut waktu yang disediakan belum memadai untuk muatan materi yang begitu padat dan memang penting; yakni menuntut pemantapan pengetahuan hingga terbentuk watak dan keperibadian bagi peserta didik. Kelemahan lain, bidang studi pendididkan agama yang terdiri dari Aqidah Akhlak, al-Qur’an Hadist, Fiqih, Bahasa Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam lebih terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif) dan minim dalam pembentukan sikap (afektif) serta pelaksanaan/praktik (psikomotorik). Dalam implementasinya juga lebih didominasi pencapaian kemampuan kognitif. Kurang mengakomodasikan kebutuhan afektif dan psikomotorik. Kendala lain adalah kurangnya keikutsertaan guru mata pelajaran lain dalam memberi motivasi kepada peserta didik untuk mempraktekkan nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Lalu lemahnya sumber daya guru dalam pengembangan pendekatan dan metode yang lebih variatif, minimnya berbagai sarana pelatihan dan pengembangan, serta rendahnya peran serta orang tua peserta didik. Ini semua sangat berpengaruh terhadap proses implementasi sebuah kurikulum.
Pokok permasalahan yang menjadi sumber utama problematika pendidikan agama di Madrasah selama ini hanya dipandang melalui aspek kognitif atau nilai dalam bentuk angka saja, tidak dipandang bagaimana siswa didik mengamalkan dalam dunia nyata sehingga belajar agama sebatas menghafal dan mencatat. Hal ini mengakibatkan pelajaran agama menjadi pelajaran teoritis bukan pengamalan atau penghayatan terhadap nilai agama itu sendiri. Paulo Freire menegaskan bahwa fungsi pendidikan adalah untuk pembebasan, bukan untuk penguasaan. Tujuan pendidikan adalah untuk menggarap realitas manusia, dan karena itu secara metodologis bertumpu pada prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk mengubah kenyataan yang menindas dan pada sisi lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk mengubah kenyataan yang menindas.

BAB II
PEMBAHASAN
Sehubungan dengan hal di atas, cara berpikir kita sepertinya harus diubah. Hal ini mengingat bahwa pendidikan itu penting. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989. Oleh karena perubahan zaman yang makin modern maka kurikulum juga harus dapat beradaptasi dengan perubahan itu sendiri. Guru juga harus kreatif mengaplikasikan materi pendidikan agama sesuai dengan situasi murid. Gaya bercerita, diskusi, problem-solving (pemecahan masalah), dan simulasi adalah alternatif positif yang dapat dimasukkan dalam metode yang tepat untuk pembelajaran agama. Menurut Al Nawawi, metode pengajaran yang sesuai dengan Al Qur’an dan Al Hadist meliputi :
  1. Metode Hiwar Qur’ani dan Nabawi: dialog yang mengarah pada tujuan pendidikan.
  2. Metode kisah Qur’ani dan Nabawi: kisah menarik dan diambil keteladanannya untuk dijadikan panutan.
  3. Metode Amtsal: membaca teks untuk mempermudah siswa dalam memahami suatu konsep.
  4. Metode Teladan: menggunakan keteladanan dalam memnanamkan penghayatan dan pengamalan materi tersebut.
  5. Metode Pembiasaan: pengulangan yang dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi suatu kebiasaan.
  6. Metode Ibrah dan Mauidhah: menelaah ibrah dari kisah dengan nasihat yang lembut dan menyentuh.
  7. Metode Targhib dan Tarhib: didasarkan kepada ganjaran dan hukuman.
  8. Sikap dan pengamalan diri hubungan siswa didik dengan Allah.
Dalam hal ini, menurut Sayyed Hossein Nasr bahwa guru bukan sekedar menjadi penyampai ilmu (mu’allim), akan tetapi lebih dititikberatkan sebagai murobbi untuk melatih jiwa dan kepribadian, murobbi akan selalu mengawasi perkembangan materi yang disampaikan dalam perkembangan akhlak siswa didik. Perlunya kesadaran siswa didik sebagai khalifatullah fil ‘ardli akan membangun semangat bahwa agama tidak sebatas ritual saja. Akan tetapi, akan membangun toleransi, menjunjung kebenaran, dan keadilan. Dengan hal ini, agama berfungsi sebagai media penyadaran. Untuk itu, perlu dilakukan evaluasi dalam pendidikan agama, yakni:
Apakah pendidikan agama mampu diterapkan oleh siswa didik untuk beribadah kepada Allah.
  1. Sikap dan pengamalan diri hubungan siswa didik dengan masyarakat.
Dengan mempelajari pelajaran agama diharapkan siswa mampu bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.
  1. Sikap dan pengamalan diri hubungan siswa didik dengan alam.
Untuk bisa berinteraksi serta memanfaatkan kekaayaan alam sesuai dengan tuntunan agama.
Sehubungan dengan itu, guru harus mampu mengevaluasi peserta didiknya secara terus-menerus, menyeluruh, dan ikhlas walaupun peran dan wewenangnya terbatas dapat bermakna dalam membina dan membimbing generasi penerus bangsa dari kegersangan rohani.
Upaya Pendidikan Agama Islam Mengatasi Kurikulum 2004
Secara garis besar aplikasi konsep analisa kebutuhan peningkatan mutu pendidikan agama Islam di sekolah formal dalam menghadapi era globalisasi dalam kaitannya dengan persaingan di segala bidang yang amat tinggi dan pengaruh dampak negative era globalisasi diperlukan aplikasi analisa kebutuhan secara mikro dan makro.
Namun di sini penulis hanya merumuskan aplikasi analisa kebutuhan secara mikro karena aplikasi analisa kebutuhan secara makro cakupannya sangat luas seiring dengan kebijakan yang diambil pemerintah. Analisa secara mikro di sini adalah;
a.       Strategi Pembelajaran
Tujuan pembelajaran agama Islam yang harus dirumuskan dengan bentuk behavioral atau berbentuk tingkah laku dan juga measurable atau bisa diukur. Hal ini membutuhkan strategi pembalajaran yang khusus.
Strategi disini adalah suatu kondisi yang diciptakan oleh guru dengan sengaja yang meliputi metode, materi, sarana prasarana, materi, media dan lain sebagainya agar siswa dipermudah dalam mencapai tujuan pembelajaran yang ditetapkan.
b.       Metode Pembelajaran Agama Islam.
Pendidikan agama Islam sebenarnya tidak hanya cukup dilakukan dengan pendekatan teknologik karena aspek yang dicapai tidak cukup kognitif tetapi justru lebih dominan yang afektif dan psikomotorik, maka perlu pendekatan yang bersifat nonteknologik. Pembelajaran tentang akidah dan akhlak lebih menonjolkan aspek nilai, baik ketuhanan maupun kemanusiaan yang hendak ditanamkan dan dikembangkan pada diri siswa sehingga dapat melekat menjadi sebuah kepribadian yang mulia.
Sehingga menurut Noeng Muhajir ada beberapa strategi yang bisa digunakan dalam pembelajaran nilai yaitu : tradisional maksudnya dengan memberikan nasehat dan indoktrinasi, bebas maksudnya siswa diberi kebebasan nilai yang disampaikan, reflektif maksudnya mondar-mandir dari pendekatan teoritik ke empiric, transiternal maksudnya guru dan siswa sama-sama terlibat dalam proses komunikasi aktif tidak hanya verbal dan fisik tetapi juga melibatkan komunikasi batin.
c.       .Materi Pembelajaran Agama Islam.
Disamping perlu adanya reformulasi materi-materi PAI yang selama ini menjebak pada ranah kognitif dengan mengabaikan ranak psikomotorik dan afektif, materi PAI dipandang masih jauh dari pendekatan pendidikan multi cultural, akibatnya masih banyak kerusuhan yang dipicu dari masalah SARA.
Untuk itu materi pendidikan agama hendaknya merupakan sarana yang efektif untuk menginternalisasi nilai-nilai atau aqidah inklusif pada peserta didik. Selain itu, pada masalah-masalah syari’ah pendidikan agama Islam selama ini mencetak umat Islam yang selalu bertengkar antar pengikut madzhab.
Maka dalam hal ini pendidikan Islam perlu memberikan pelajaran “fiqih muqarran” untuk memberikan penjelasan adanya perbedaan pendapat dalam Islam dan semua pendapat itu sama-sama memiliki argumen, dan wajib bagi kita untuk menghormati. Sekolah tidak menentukan salah satu mazhab yang harus diikuti oleh peseta didik, pilihan mazhab terserah kepada mereka masing-masing.
d.       Sumber Daya Guru Agama
Pada saat ini ada kecenderungan untuk menunjuk guru sebagai salah satu factor penyebab minimnya kualitas lulusan siswa. Kritikan mulai dari ketidak efektifnya guru dalam menjalankan tugas, kurangnya motivasi dan etos kerja, sampai kepada ketidak mampuan guru dalam mendidik dan mengajar kepada anak didiknya.
Untuk meningkatkan motivasi dan etos kerja guru maka factor pemenuhan kebutuhan sangat berpengaruh. Untuk itu bagaimana mengarahkan kekuatan yang ada dalam diri guru untuk mau melakukan tingkat upaya yang tinggi ke arah tujuan yang telah ditetapkan. Berbicara tentang motivasi tidak lepas kaitannya dengan beberapa pandangan tentang terbentuknya kepribadian manusia melalui proses pola awal terbentuknya motivasi dan beberapa teori kebutuhan manusia. Suparmin mengutip Mc.Cleland yang mengelompokkan kebutuhan manusia kaitannya dengan peningkatan motivasi dalam tugasnya sebagai guru adalah; need for achievement/ kebutuhan untuk berprestasi, need for power/ kebutuhan untuk berkuasa, need for affiliation/ kebutuhan untuk berafiliasi . Bila ketiga kebutuhan terpenuhi maka motivasi dan etos kerja seorang guru akan tumbuh dan berkembang sebagimana yang diharapkan.
Dengan motivasi dan etos kerja yang tinggi guru agama akhirnya menjadi penggerak penjiwaan dan pengalaman agama yang mencerminkan pribadi yang taqwa, berakhlaq mulia, luhur dan menempati perananan suci dalam mengelola kegiatan pembelajaran, maka dibutuhkan guru yang dirumuskan Zakiyah Darajat ‎ ‎dan Husni Rahim sebagai berikut : mencintai jabatannya, bersikap adil, sabar tenang, menguasai metode dan kepemimpinan, berwibawa, gembira, manusiawi dan dapat bekerja sama dengan masyarakat.
Dan tentunya juga dibantu guru bidang studi lain dengan menunjukkan keteladanan bagi siswa sebagai seorang yang beragama yang baik. Apalagi iman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan prasyarat utama bagi setiap guru, yang secara praktis akan berimplikasi pada keharusan setiap guru untuk mengimplementsikan nilai-nilai akhlak yang mulia dalam setiap pelajaran.
Menurut Muhaimin bila ada peserta didik yang terlibat narkoba misalnya, maka hal itu bukan merupakan kegagalan guru PAI saja, tetapi juga merupakan kegagalan dari guru IPA, IPS dan PPKn. Bila ada siswa yang suka hidup boros, itu juga kegagalan guru matematika dan ekonomi dan bila siswa suka merusak lingkungan itu termasuk kegagalan guru IPA dan seterusnya .
e.       Fasilitas dan Media Pengajaran
Salah satu factor yang dibutuhkan dalam peningkatan mutu pendidikan agama Islam di sekolah formal saat ini adalah : tempat ibadah (masjid atau musholla), ruang bimbingan dan penyuluhan agama, laboratorium keagamaan dan computer berbasis internet.
Laboratorium tidak hanya dibutuhkan untuk pembelajaran ilmu bahasa dan ilmu eksakta saja, tetapi semua materi pelajaran juga membutuhkan laboratorium termsuk pelajaran agama Islam. Di dalam laboratorium akan dilengkapi media-media pembelajaran.
Media pembelajaran yang bersifat audio visual sangat penting untuk tercapainya tujuan pembelajaran, karena media pembelajaran ini berfungsi untuk memberikan pengalaman konkret kepada siswa. Bila guru menyampaikan materi agama dengan bermain kata-kata saja maka materi itu bersifat abstrak sama ketika guru-guru di Eropa mengajar bahasa Latin pada abad 17.
Muhaimin mengusulkan lima cara yang dijadikan dasar pertimbangan dalam pemilihan sarana/ media pembelajaran PAI yaitu; (1) tingkat kecermatan representasi, (2) tingkat interaktif yang ditimbulkan, (3) tingkat kemampuan khusus, (4) tingkat motivasi yang ditimbulkan, (5) tingkat biaya yang diperlukan.
f.        Instrumen Penunjang
Mengingat pendidikan agama Islam adalah pendidikan yang universal maka, dibutuhkan instrument penunjang antara lain : school culture, extra kurikuler keagamaan, tim penggerak proses pendidikan keagamaan ( kepala sekolah, dewan, guru, karyawan, komite, masyarakat sekitar, LSM dan alumni).
Memperhatikan tuntutan pendidikan agama Islam di madrasah dan sekolah-sekolah umum dilaksanakan dengan beberapa strategi di antaranya : pertama penyempurnaan kurikulum pendidikan agama agar materi pelajarannya mencapai komposisi yang proporsional dan fungsional tetapi tidak membebani siswa. Kedua, memadukan materi agama dengan materi pendidikan budi pekerti misalnya PPKn atau pelajaran lainya yang terkait hal ini juga dapat mengikis dikotomi ilmu. Ketiga, menciptakan kondisi agamis di lingkungan sekolah.
Dalam kaitan ini diperlukan adanya serangkaian kegiatan strategis lainnya antara lain: (1) mengidentifikasi isu-isu sentral yang bermuatan moral dalam masyarakat untuk dijadikan bahan kajian dalam proses pembelajaran di kelas dengan menggunakan metode klarifikasi nilai (2) mengidentifikasi dan menganalisis kebutuhan siswa dalam pembelajaran pendidikan moral agar tercapai moral yang komprehensif yaitu kematangan dalam pengetahuan moral perasaan moral,dan tindakan moral,(3) mengidentifikasi dan menganalisis masalah-masalah dan kendala-kendala instruksional yang dihadapi oleh para guru di sekolah dan para orang tua murid di rumah dalam usaha membina perkembangan moral siswa, serta berupaya memformulasikan alternatif pemecahannya,(4) mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai-nilai moral yang inti dan universal yang dapat digunakan sebagai bahan kajain dalam proses pendidikan moral,(5) mengidentifikasi sumber-sumber lain yang relevan dengan kebutuhan belajar pendidikan moral. Terkait dengan pelajaran budi pekerti ini,sebenarnya telah banyak pelajaran yang diajarkan di sekolah yang menitik beratkan pada etika moral dan adab yang santun seperti pendidikan Agama, PPKn dan BK (Bimbingan Konseling).
Selanjutnya pengajaran agama Islam diajarkan sebagai perangkat sistem yang satu sama lain saling terkait dan mendukung yang mencakup : guru agama yang layak dan cocok tidak under qualified, tidak mismatch , adanya kerja sama dengan guru mata pelajaran lain, profesionalitas pimpinan sekolah, kurikulum yang baik , metode yang tepat di antaranya metode praktek/ role playing , materi pembiasaan, sholat dzuhur berjamaah, kelengkapan sarana dan masjid dan kerjasama orang tua tokoh formal, aparat pemerintah.
Selanjutnya Husni Rahim mengajak pelaku pendidikan agama Islam di sekolah formal untuk mempertegas visi pendidikan Islam dengan cakupan bahwa visi itu sebagai berikut : Karakter Islami yaitu (1) orientasi holistic artinya kesadaran sebagai pribadi muslim di segala situasi dan kondisi terutama di sekolah, dengan menempatkan nilai-nilai spiritual dan transedental dalam pencapaian tujuan pendidikan strategi pembelajaran yang tidak verbalistik sehingga mudah dikembangkan ketrampilan dan wawasannya secara terpadu, (2) populis yaitu Sekolah/ madrasah dilaksanakan dengan semangat yang merakyat, karena manusia membutuhkan persaudaraan, saling kasih dan semangat memberdayakan kaum tertindas berorientasi mutu yaitu dalam dua tataran : proses dan hasil pendidikan.
Selanjutnya Rahim menjelaskan proses tersebut dalam suasana pembelajaran yang aktif dan dinamis serta konsisiten dengan program dan target pembelajaran. Adapun hasilnya adalah output yang berkualitas dalam kognitif, afektif dan psikomotorik dan pluralis pada lembaga pendidikan Islam yang harus tercermin dalam kurikulum dan proses pendidikan guna mewujudkan cita-cita umat Islam Indonesia menjadi ulama yang cendikia atau cendikia yang ulama.

BAB III
KESIMPULAN
Analisa kebutuhan adalah bagian dari langkah pendekatan sistem dalam sebuah menejemen. Kebutuhan total – kebutuhan yang terpenuhi = kebutuhan yang tidak terpenuhi.
Secara konseptual pendidikan Islam di Indonesia akan mampu eksis sekaligus mampu menyesuaikan perkembangan zaman karena melihat Islam adalah agama yang universal. Untuk mengembangkan strategi dan model pembelajaran pendidikan dengan menggunakan pendekatan terpadu, diperlukan adanya analisis kebutuhan (needs assessment) siswa dalam belajar pendidikan moral.
Analisa kebutuhan tersebut berdasarkan pada kesenjangan yang dialami di dunia pendidikan kaitannya dengan materi pendidikan agama Islam, kesenjangan itu dapat dikelompokkan secara makro dan mikro.
Kajian ini masih hanya terbatas pada sisi kurikulum dan yang melingkupinya. Kesenjangan yang bersifat pengembangan kebijakan madrasah belum dibahas secara tuntas.
Pada dasarnya, problematika pendidikan agama secara umum hanya mengedepankan aspek kognitif atau hasil pencapaian akhir terhadap suatu mata pelajaran. Hal ini belum mencapai aspek afektif, yaitu pembentukan sifat dan karakter siswa didik bagaimana siswa tersebut dapat menerapkan pelajaran yang telah didapat dan aspek psikomotorik yaitu pengembangan kreativitas. Untuk itu, entah bagaimana pengaplikasian pendidikan dalam kehidupan sehari-hari oleh para siswa.
Apalagi, pelajaran agama belum menjadi alat utama untuk menentukan lulus atau tidaknya siswa didik dalam suatu jenjang pendidikan. Inilah yang menurut siswa didik, pendidikan agama tidak terlalu penting sehingga cenderung diremehkan. Metode yang dilakukan oleh para guru agama juga menjadi salah satu faktor problematika pendidikan agama di sekolah. Oleh karena itu, untuk mengatasi problematika tersebut guru menjadi kunci penting, yakni bertindak dengan menggunakan metode yang tepat bagi kelancaran pembelajaran agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar