Kamis, 21 April 2011

Ijtihad, ittiba', taqlid, talfik dan intiqal madzhab


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Pengertian Ijtihad, Ittiba’, Taqlid, Talfiq dan Intiqal madzhab
       Secara bahasa lafadz ijtihad adalah bentuk mashdar dari fi’il ijtahada yang berarti berusaha dengan sungguh-sungguh. Dalam bidang fikih, berarti mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung di dalam Al Qur’an dengan syarat-syarat tertentu. Adapun menurut para ahli ushul fikih, antara lain Imam Syaukani dan Imam Zarkasyi, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syara’ (hukum Islam) yang bersifat operasional dengan isthinbath. Menurut Imam al-Amidi, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan ntuk mencari hukum Islam yang bersifat Dhanny sampai merasa dirinya tidak mampu mencari tambahan kemampuannya itu.[1]
       Ittiba’ menurut bahasa berarti mengikuti, sedangkan menurut istilah adalah Menerima pendapat seseorang dengan mengetahui dasar dalilnya.[2] Sedangkan Taqlid adalah kebalikan dari ittiba’ yaitu mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui dalilnya.[3]
       Talfiq adalah mengikuti pendapat satu Imam dalam satu masalah kemudian bertaqlid kepada Imam lain dalam masalah lain.[4] Sedangkan Intiqal Madzhab adalah berpindah dari satu madzhab ke madzhab lain secara keseluruhan hukum imam yang diikuti.[5]








BAB II
PROBLEMATIKA IJTIHAD, ITTIBA’, TAQLID, TALFIQ DAN INTIQAL MADZHAB

A.   PROBLEMATIKA IJTIHAD
       Kalau kita membahas tentang problematika ijtihad maka tak lepas dari problematika menjadi seorang mujtahid yang harus memenuhi beberapa syarat yang sangat berat. Syarat-syarat tersebut adalah :
1.          Memahami Al-Qur’an dengan asbabun nuzulnya, nsikh-mansukh dan ayat-ayat yang nasikh dan mansukh.
2.          Memahami hadits, ilmu hadits dirayah, hadits-hadits yang nasikh dan mansukh dan asbabul wurud hadits.
3.          mengetahui pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab.
4.          Mengetahui tempat-tempat ijma’.
5.          Mengetahui ushul fikih.
6.          Mengetahui maksud-maksud syari’at.
7.          Memahami masyarakat dan adat istiadatnya.
8.          bersifat adil dan takwa.[6]
       Disamping delapan syarat ini, beberapa ulama’ menambahkan tiga syarat lagi, yaitu :
  1. Mendalami ilmu ushuluddin.
  2. memahami ilmu manthiq (ilmu logika).
  3. menguasai cabang-cabang fikih.[7]
       Melihat syarat-syarat yang berat di atas, timbul pertanyaan apakah pada masa sekarang apabila ditemukan permasalahan yang tidak ditemukan hukumnya, tidak diperbolehkan melakukan ijtihad, karena syarat-syarat diatas sangat sulit dipenuhi oleh ulama’ pada masa sekarang. Pada akhirnya muncullah apa yang disebut dengan ijtihad jama’iy, yaitu mengumpulkan para ahli dalam bidangnya untuk mencari hukum suatu masalah yang belum terjawab.
       Berdasarkan ijtihad yang dilakukan, ulama’ mengelompokkan mujtahid dalam beberapa tingkatan. Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushul al-Fiqh menyebut ada enam tingkatan mujtahid, yaitu :
1.          Mujtahid Mustaqill, yaitu mujtahid yang mengeluarkan hukum-hukum dari Al-Qur’an dan sunnah, melakukan kias, berfatwa dan beristihsan.
2.          Mujtahid muntasib, yaitu mujtahid yang memilih perkataan-perkataan seorang Imam pada hal-hal yang bersifat mendasar dan berbeda pendapat dengan mereka dalam hal-hal furu’ (cabang) walaupun pada akhirnya ia akan sampai pada hasil yang serupa dengan yang telah dicapai imam tersebut.
3.          Mujtahid fil Madzhab, yaitu mujtahid yang mengikuti pendapat Imam Madzhab,baik dalam hal-hal ushul maupun furu’. Usahanya hanya terbatas dalam menyimpulkan hukum-hukum persoalan yang belum ditemui hukumnya dalam pendapat imam madzhab.
4.          Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang meng-isthinbat-kan hukum-hukum yang tidak diijtihadkan oleh para ulama’ sebelumnya. Sebenarnya mujtahid pada tingkatan ini hanya mencari pendapat imam madzhab yang lebih kuat.
5.          Mujtahid Muhafidh, yaitu mujtahid yang mengetahui hukum-hukum yang telah ditarjih oleh para ulama’ sebelumnya.
6.          Mujtahid Muqallid, yaitu mujtahid yang hanya sanggup memahami pendapat-pendapat mujtahid lain, tidak mampu melakukan tarjih.[8]
       Saat ini, diyakini manusia  telah mencapai puncak kehidupan mutakhirnya, dimana kamus mengistilahkannya dengan "globalisasi", artinya dunia semakin mengecil dan segala sesuatu sangat mudah kita dapatkan dengan ditandai akan berbagai perkembangan teknologi. Dunia tak ubahnya seperti sebuah desa kecil. Seakan sudah tidak ada lagi sekat dan jarak yang memisahkan manusia. Namun, seiring dengan laju perkembangan zaman, maka bertambah pula permasalahan baru yang muncul dan menuntut pembuktian Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin untuk  memberikan solusi yang tepat. Hal ini pada akhirnya menuntut seorang mujtahid yang mempunyai otoritas dalam menentukan hukum untuk turut menyelesaikan problematika kehidupan umat. Dr Ahmad Buud (2006), menambahkan, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi karakteristik dan dampak negatif maupun positif dari modernitas, diantaranya adalah, pertama, semakin terbebasnya manusia dari kejumudan dan taklid yang membutakan. Kedua, kemajuan dan perkembangan teknologi, terutama dari Barat. Ketiga, kegandrungan masyarakat dunia pada kacamata (worldview) Barat, hingga tersebar  paham  sekulerisme dan liberalisme di dunia Islam.  Keempat, kebangkitan umat Islam mengejar ketertinggalannya dari Barat.
       Di sisi lain, pada hakekatnya tidak ada perbedaan mendasar antara sebuah tuntutan kebangkitan ruh berijtihad sebagai sebuah bentuk gerakan pencerahan (aukflarung) dengan kewajiban beragama itu sendiri. Keduanya memiliki akar dan titik tolak yang sama, dimana tujuan keduanya akan bermuara pada pembumian firman-Nya (QS:2:30), yaitu bahwa manusia diutus ke bumi tak lain adalah sebagai khalifah-Nya. Maka  manusia berbeda dengan makhluk lain, ia diberi kelebihan akal. Manusia dapat berfikir dan mampu membedakan hal yang baik dan buruk, sehingga tidak heran apabila manusia disebut oleh Allah sebagai sebaik-baik makhluk ciptaan-Nya. Hal ini jugalah yang menjadi alasan bagi Allah kenapa Dia menurunkan wahyu-Nya dalam bentuk nash-nash yang global. Disamping RasululLah yang diutus untuk menjelaskan isi kandungan al-Quran, juga menjadi tugas manusia sebagai hamba yang berakal untuk menggali teks-teks tersebut, terutama pada problematika baru yang datang sesudah Rasulullah Saw. mangkat. Kaitanya dalam hal ini, Dr Ahmad Bu’ud dalam bukunya , Ijtihad, baina haqaiq al-tarikh wa mutathalibat al-waqi, memberikan rambu dan perangkat utama pada seorang mujtahid untuk  berijtihad di era kontemporer ini.
       Pertama, fikih nashiy dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Hal yang paling pertama dilakukan oleh seorang mujtahid ketika berijtihad adalah mencari landasan dalil-dalil hukum yang terdapat dalam al-Quran dan Sunah. Baik permasalahan yang sudah terdapat  teks-teks resminya maupun yang belum. Ini penting dilakukan mengingat keduanya, al-Quran dan Sunah adalah dua sumber entitas resmi agama Islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam hal ini, juga harus dihindari kesalahan-kesalahan dalam memahami teks (nash).
       Penggalian hukum tidak cukup hanya dengan bermodalkan keislaman dan keimanan serta pemahaman awal seseorang terhadap nash-nash saja. Juga tidak cukup dengan satu, dua atau tiga orang saja. Lebih dari itu untuk kemaslahatan umat dan ketepatan berijtihad, diperlukan kerjasama semua komponen yang berkaitan dengan masalah tersebut, agar produk hukum tersebut menjadi kuat dan bijak. Di samping itu beberapa kaidah dalam memahami teks yang perlu dimiliki oleh seorang mujtahid diantaranya; (a). memiliki kapabilitas dalam pengetahuan bahasa Arab, (b). mengetahui sebab turunnya sebuah ayat atau hadis (asbab al-nuzul wa al-wurud), (c). mengetahui tujuan atau maksud dari turunnya ayat tersebut (maqashid al-Syari'ah).
       Kedua, fikih realitas (al-waqa'iy) Hal kedua yang harus dilakukan oleh mujtahid setelah memahami teks al-Quran dan Sunah adalah memahami realita atau yang sering diistilahkan dengan fiqh al-waqi’, yaitu pemahaman yang integral terhadap sebuah obyek atau realitas yang dihadapi oleh manusia dalam ranah hidupnya. Adapun hal-hal yang mencakup fiqh al-waqi’ adalah: (a). Memahami dan mengetahui pengaruh-pengaruh alami yang muncul di lingkungan sekitarnya, terutama kondisi geografis wilayah tertentu dimana mujtahid tersebut hidup dan tinggal. (b). Mengetahui kondisi sosial kemasyarakatan dan transformasinya dalam berbagai bentuk yang memiliki keterikatan sosial dengan manusia. Yang dimaksud dengan keterikatan sosial disini adalah segala sesuatu yang berhubungan antara satu orang dengan yang lainnya apapun jenis hubungan tersebut, baik dalam ranah agama, budaya, ekonomi, politik atau militer. (c). Di samping memahami realita sosial yang melingkupi sebuah permasalahan, seorang mujtahid juga dituntut untuk mempelajari kondisi psikologi manusia sekitarnya. Karena antara realitas dan sisi dalam kemanusiaan individu manusia memiliki keterikatan yang kuat, keduanya tidak bisa dipisahkan.
       Ketiga, ijtihad kolektif (jama'iy). Masih menurut Dr Ahmad Bu’ud, ijtihad kontemporer hanya bisa dilakukan dengan merealisasikan ijtihad kolektif (ijtihâd jamâ’îy), kecuali ketika keadaan benar-benar mendesak. Kebutuhan ijtihad kolektif didasari oleh realita dan problematika masyarakat yang komplikatif, yang tidak bisa hanya diselesaikan oleh individu perorangan saja, walaupun orang tersebut memilki kapabilitas. Maka, keberadaan sebuah lembaga atau institusi yang mengakomodir para mujtahid dari berbagai bidang ilmu, mutlak diperlukan di era kontemporer ini. Terpahami,  bahwa keberadaan ijtihad kolektif ini akan tercermin dalam sebuah aktifitas musyawarah (syûrâ). Dari sinilah titik temu (problem solving) dari sebuah permasalahan akan ditemukan.
       Inilah yang disebut ijtihad, dimana syarat-syarat para mujtahid yang disebutkan terpenuhi di dalamnya. Mereka berijtihad  membahas problematika umat, masing-masing dengan argumentasi dan dalil-dalil yang didasarkan pada nash-nash wahyu dan maqashid as-syâri’ah. Juga bisa kita sebut sebagai musyawarah (syûra), karena di dalamnya mampu menampung komunitas tertentu yang bersama-sama membahas dan memusyawarahkan permasalahan. Usaha seorang mujtahid dan ijtihadnya tidak bisa dikatakan sebagai ijtihad kolektif sebelum terealisasikan dalam sebuah  aktifitas musyawarah. Musyawarah tersebutpun tidak bisa terwujud kecuali dengan dihadiri oleh para mujtahid yang memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid serta memiliki kapabilitas dan keahlian di bidangnya masing-masing.
       Pertanyaannya, bagaimanakah aplikasi ijtihad kolektif (ijtihâd jamâ’î) pada era sekarang ini? Saat ini kita bisa melihat ijtihad kolektif tersebut termanifestikan dalam berbagai bentuk lembaga ijtihad. Seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majma' al-buhuts al-Islamiyyah al-Azhar, Lembaga Fatwa Mesir (Dâr Iftâ' Mishriy), Lembaga Fikih Islam Mekah yang berpusat di Jedah, Majelis Fatwa Eropa dan Amerika Utara dan masih banyak lagi lembaga-lembaga Islam yang bergerak dalam bidang ijtihad. Lembaga ijtihad tersebut mengakomodir para ulama yang mempunyai wewenang dalam memutuskan hukum tersebut.  Dr. Qutub Musthafa Sanu membagi tiga macam bentuk ijtihad kolektif  yang ada pada zaman ini dan  masing-masing memiliki tugas-tugas tertentu.
(a). Lembaga Ijtihad Lokal (wilayah atau provinsi), yang melihat dan membahas permasalahan-permasalahan lokal atau wilayah tertentu. Lembaga inilah yang kemudian mempunyai keterikatan dan hubungan dengan masyarakat atau suatu komunitas. Maka  lembaga ini dituntut untuk benar-benar memusatkan perhatiannya pada perkembangan masyarakat tersebut agar tercipta kemaslahatan di dalamnya. Semisal Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah provinsi Sumatera Selatan yang berkedudukan di Ogan Komering Palembang Indonesia.
(b). Lembaga Ijtihad Regional. Lembaga ini mempunyai tugas untuk membahas problematika masyatrakat dalam sekup wilayah regional yang memiliki sifat, kebiasaan, tradisi yang mengikat dan kemaslahatan bersama. Biasanya strukturnya setingkat negara, seperti MUI atau  Dâr Iftâ' Mishriy.
(c). Lembaga Ijtihad Internasional. Lembaga ijtihad ini hadir untuk membahas problematika umat kekinian dengan sekup internasional, seperti Lembaga fatwa milik OKI (Organisasi Konferensi Islam). Biasanya lembaga tersebut mengadakan muktamar tahunan guna membahas permasalahan-permasalahan umat yang terjadi di belahan dunia Islam.[9]
       Melihat realitas problematika fiqh kotemporer, maka para ulama melihat ijtihad kolektif merupakan terobosan yang paling efektif untuk mengantisipasinya, dimana kelompok ahli hokum Islam disamping penasehat ilmu lainnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, mereka meninjau masalah tersebut dari segala segi untuk menetapkan solusi hukumnya. Ini tidak menutup pintu ijtihad individual, karena ijtihad fardi merupakan jembatan menuju ijtihad jama’i. Seorang mujtahid menetapkan hukum suatu masalah dengan terlebih dahulu mengkaji seluruh disiplin ilmu yang berkaitan dengan melakukan klarifikasi kepada ahlinya.
       Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian library (library research) dan sifat penelitiannya adalah deskriptif analitik. Data yang terkumpul bersifat kualitatif dan dianalisis menggunakan metode berfikir deduktif yang berpijak dari fakta-fakta yang bersifat umum untuk diambil kesimpulan yang bersifat khusus, sedang pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normative.
       Ijtihad dalam pengertian “berpikir bebas” adalah mesin penggerak sejarah. Ijtihad dalam teori terminology fiqh merupakan kunci dinamika ajaran Islam dalam mengantisipasi dinamika perubahan zaman. Adapun tujuannya untuk mencari solusi hukum dari suatu persoalan-persoalan yang muncul, karena dengan ijtihad pula fleksibilitas dan elastisitas hukum Islam. Syarat-syarat ijtihad menurut formulasi fiqh klasik sangat ketat dan sulit dipenuhi di zaman ini. Jika itu dijadikan ukuran keabsahan ijtihad, maka ijtihad yang paling relevan di zaman ini adalah ijtihad jama’i[10]

B.   PROBLEMATIKA ITTIBA’
       Allah swt melarang manusia melakukan suatu tindakan tanpa dasar pengetahuan. Pengetahuan tersebut bisa pengetahuan wahyu, bisa juga pengetahuan realitas. Orang yang mengabaikan pengetahuan wahyu akan tersesat di akhirat, sedangkan orang yang mengabaikan pengetahuan realitas bisa celaka di dunia.Sebagai ilustrasi, seseorang diserahi untuk membersihkan komputer, jika kemudian cara membersihkannya itu dengan dicuci sebagaimana mencuci pakaian maka tentu akan mengalami kerusakan yang fatal.
       Yang lebih penting dari ini, adalah kewajiban mensyukuri nikmat agama dilakukan dengan memegangi dan menjalankan konsekuensi beragama Tetapi hal itu tidak cukup hanya dengan kebiasaan-kebiasaan tanpa pengetahuan. Dalam menjalankan ajaran agama, manusia akan bisa melakukannya dengan baik apabila dia memiliki pengetahuan agama. Jika tidak, bisa jadi bukan ajaran agama tetapi dia aku sebagai ajaran agama.
       Imam Hanafi berkata,” tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya”
       Imam Maliki berkata, “ Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru, lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan kitab dan sunnah maka ambillah, dan yang tidak sesuai tinggalkanlah”.
       Imam Syafi’i berkata, “ jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah, ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun”. Sedangkan Imam Hanbali berkata, “ Janganlah engkau taqlid dalam agamamukepada seorangpun ari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah.[11]
       Masalah ittiba’ adalah masalah yang prinsip, mengingat bahwa ketetapan Allah terhadap agama adalah bersih dari segala bentuk campur tangan  al-fikr (pemikiran), al-wijdan (perasaan) dan al-irodah (kemauan) yang berakibat seseorang dihukumkan al-ihdats fiddini.[12]
       Ittiba’ dapat dibagi menjadi beberapa macam, antara lain :
a.       Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya, Ulama sepakat bahwa semua kaum muslim wajib mengikuti semua perintah Allah Swt dan Rasul-Nya dan menjauhi laranganNya.
b.      Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak boleh kepada yang lain. Pendapat yang lain membolehkan berittiba` kepada para ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris para Nabi).
       Dengan adanya ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan pengertian, tanpa diselimuti keraguan sedikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.[13]

C.   PROBLEMATIKA TAQLID
       Taqlid ialah mengikuti pendapat seorang mujtahid tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilannya. Seperti seseorang itu mengikuti pendapat Imam Syafi’i tanpa mengetahui dalilnya atau hujjahnya. Orang seperti ini disebut Muqallid.
       Hukum-hukum amaliyyah dapat kita bagikan kepada dua :
1.       Hukum-hukum yang dapat diketahui tanpa memerlukan penelitian dan ijtihad, yaitu hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh dalil yang qath’i dan yang dapat diketahui dengan segera. Ia disebut sebagai al-ma’lum minad din bid-Dloruroh. Contohnya ialah hukum tentang kewajiban shalat lima waktu, kewajiban puasa bulan Ramadlan, bilangan rakaat dalam shalat dan sebagainya. Ini semua dapat diketahui oleh semua umat Islam. Pengetahuan tentang hukumnya tidak memerlukan kepada penelitian terhadap dalil-dalilnya. Dalam masalah ini seseorang itu tidak dibenarkan bertaqlid, karena semua orang dapat mengetahuinya.
2.       Hukum-hukum yang memerlukan penelitian dan ijtihad. Masalah-masalah yang berada di bawah kategori ini amat banyak sekali, seperti masalah yang hukum menyentuh perempuan ajnabiyah, apakah batal wudlu? Ini adalah masalah yang termasuk di dalam kategori ini. Sebab, masalah ini memang ada dalilnya dari Al-Qur’an. Tetapi dalilnya perlu diteliti terlebih dahulu untuk diketahui apakah hukum yang boleh dikeluarkan darinya. Dalam penelitian dan kajian ini, sudah semestinya terjadi perselisihan pendapat. Madzhab-madzhab dan perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan ulama’ terjadi dalam masalah yang seumpama ini. Dalam masalah inilah orang diperbolehkan taqlid.
       Kebanyakan ulama’ Ushul Fiqh mengatakan bahwa mereka yang tidak berkeupayaan untuk berijtihad wajib mengikuti dan mengambil pendapat atau fatwa dari para mujtahid.
       Menurut Al-Amidi, ibnu al-Najib dan Kamal al-Hummam, tidak wajib bertaqlid kepada seorang mujtahid tertentu. Dalam satu masalah, mereka boleh beramal dengan madzhab ini, kemudian dalam masalah lain mereka beramal dengan madzhab lain. Berdasarkan madzhab ini, jika kita bertaqlid dengan madzhab Syafi’i dalam satu-satu masalah, tidak semestinya kita bertaqlid dengan madzhab ini dalam semua masalah. Dibenarkan mengamalkan pendapat dari madzhab-madzhab lain.
       Taqlid yang diharamkan ialah :
  1. Bertaqlid kepada seseorang tnpa mengindahkan Al-Qur’an dan sunnah.
  2. Bertaqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya berijtihad.[14]
       Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal ( Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).
       Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut, tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang yang mengatakan perkataan itu”.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.[15]
       Taqlid ada dua jenis : umum dan khusus.

1.      Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya1 dan azimah-azimahnya2 dalam semua urusan agamanya.

Dan para ‘ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara mereka ada yang berpendapat wajibnya hal tersebut dikarenakan (menurut mereka, pent) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : “Sesungguhnya dalam pendapat yang mewajibkan taat kepada selain Nabi dalam segala perintah dan larangannya adalah menyelisihi ijma’ dan tentang kebolehannya masih dipertanyakan.”
Beliau juga berkata : “Barangsiapa memegang suatu madzhab tertentu, lalu ia melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid kepada ‘ulama lain yang memberinya fatwa dan tanpa istidlal dengan dalil yang menyelisihinya, dan tanpa udzur syar’i yang menunjukkan halalnya perbuatan yang dilakukannya, maka ia adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharoman tanpa ada udzur syar’i, dan ini adalah mungkar. Adapun jika menjadi jelas baginya apa-apa yang mengharuskan adanya tarjih pendapat yang satu atas yang lainnya, baik dengan dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu dan memahaminya, atau ia melihat salah seorang ‘ulama yang berpendapat adalah lebih ‘aalim (tahu) tentang masalah tersebut daripada ‘ulama yang lain, yang mana ‘ulama tersebut lebih bertaqwa kepada Alloh terhadap apa-apa yang dikatakannya, lalu orang itu rujuk dari satu pendapat ke pendapat lain yang seperti ini maka ini boleh, bahkan wajib dan al-Imam Ahmad telah menegaskan akan hal tersebut.
2.      Taqlid yang khusus : seseorang mengambil pendapat tertentu dalam kasus tertentu, maka ini boleh jika ia lemah/tidak mampu untuk mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat.[16]

D.   PROBLEMATIKA TALFIQ
       Talfiq ialah mengikuti pendapat satu imam dalam satu-satu masalah, kemudian bertaqlid kepada imam lain dalam masalah lain. Contoh: mengambil wudlu mengikuti Imam Hanafi dan shalat mengikuti Imam Syafi’i.
       Kebanyakan ulama’ membagi talfiq menjadi dua, yaitu :
1.            Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhab-madzhab dalam beberapa masalah yang berbeda. Contoh: berwudlu ikut Hanafi dan shalat ikut Maliki. Menurut ulama’-ulama’, talfiq seperti ini dibenarkan, karena dia mengamalkan pendapat yang berbeda dalam dua masalah yang berbeda. Talfiq seperti ini dibenarkan dalam bidang ibadah dan muamalat sebagai keringanan dan rahmat Allah terhadap umat Muhammad.
2.            Mengambil pendapat yang paling ringan diantara madzhab-madzhab dalam satu masalah. Talfiq seperti ini tidak dibenarkan. Contoh: Ali menikah tanpa menggunakan wali ikut Hanafi, dia juga tidak menyertakan dua saksi mengikuti Imam Maliki.[17]
       Talfiq tidak dibenarkan jika kita di lingkungan suatu madzhab, misalnya kita di lingkungan madzhab Syafii, maka tak dibenarkan kita memakai madzhab lain karena kita tak mengetahui hukum-hukum madzhab tersebut secara jelas, dan akan membuat fitnah dan bingungngya orang lain, namun jika kita pindah, misalnya ke wilayah yang masyarakatnya bermadzhab Maliki, maka tak layak kita terus berkeras diri untuk bermadzhab syafii, hendaknya kita memakai madzhab Maliki karena masyarakatnya bermadzhab maliki.
       Memang tak ada perintah wajib bermadzhab secara shariih, namun bermadzhab wajib hukumnya, karena kaidah syariah adalah Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib, yaitu apa-apa yang mesti ada sebagai perantara untuk mencapai hal yang wajib, menjadi wajib hukumnya.
       Misalnya kita membeli air, apa hukumnya?, tentunya mubah saja, namun bila kita akan shalat fardhu tapi air tidak ada, dan yang ada hanyalah air yg harus beli, dan kita punya uang, maka apa hukumnya membeli air?, dari mubah berubah menjadi wajib tentunya, karena perlu untuk shalat yang wajib.
       Demikian pula dalam syariah ini, tak wajib mengikuti madzhab, namun karena kita tak mengetahui samudra syariah seluruh madzhab, dan kita hidup 14 abad setelah wafatnya Rasul saw, maka kita tak mengenal hukum ibadah kecuali menelusuri fatwa yg ada di imam-imam muhaddits terdahulu, maka bermadzhab menjadi wajib, karena kita tak bisa beribadah hal-hal yang fardhu / wajib kecuali dengan mengikuti salah satu madzhab itu, maka bermadzhab menjadi wajib hukumnya.
       Dan berpindah-pindah madzhab tentunya boleh boleh saja bila sesuai situasinya, ia pindah ke wilayah malikiyyun maka tak sepantasnya ia berkeras kepala dengan madzhab Syafiinya. Sebagaiman suatu contoh kejadian ketika Zeyd dan amir sedang berwudhu, lalu keduanya ke pasar, dan masing-masing membeli sesuatu di pasar seraya keduanya menyentuh wanita, lalu keduanya akan shalat, maka Zeyd berwudhu dan amir tak berwudhu, ketika Zeyd bertanya pada amir, mengapa kau tak berwudhu?, bukankah kau bersentuhan dengan wanita?, maka amir berkata, aku bermadzhabkan Maliki, maka Zeyd berkata, maka wudhumu itu tak sah dalam madzhab Malik dan tak sah pula dalam madzhab syafii, karena madzhab Maliki mengajarkan wudhu harus menggosok anggota wudhu, tak cukup hanya mengusap, namun kau tadi berwudhu dengan madzhab Syafii dan lalu dalam masalah bersentuhan kau ingin mengambil madzhab Maliki, maka bersucimu kini tak sah secara Maliki dan telah batal pula dalam madzhab Syafii.
       Demikian contoh kecil jika kita talfiq, namun itu dibolehkan jika kita pindah ke wilayah lain, karena kita bisa mencontoh cara ibadah mereka, dan minta petunjuk pada guru guru di wilayah itu.
E.    PROBLEMATIKA INTIQAL MADZHAB
       Apakah setiap muslim di masa sekarang harus mengikat dirinya dengan salah satu madzhab yang ada dan selalu mengambil pendapat madzhabnya saja, atau bolehkah kita berganti-ganti pegangan dan mengambil pendapat yang paling ''ringan'' dari beberapa madzhab pada setiap masalah?
       Memang ada sedikit beda pendapat tentang masalah kesetiaan pada satu madzhab ini. Ada beberapa pendapat ulama yang menganjurkan agar kita tidak terlalu mudah bergonta-ganti madzhab. Bahkan ada juga yang sampai melarangnya hingga mengharamkannya. Sementara itu umumnya ulama tidak sampai mewajibkannya.
       Hujjah mereka yang mengharuskan berpegang pada satu madzhab adalah agar tidak terjadi kerancuan dalam aplikasi ibadah. Sebab tiap-tiap madzhab dihasilkan dari suatu logika ijthad yang sistematis, teratur dan runtut. Sehingga menurut pendapat ini, kita tidak boleh main campur aduk begitu saja hasil-hasil ijtihad yang metologinya saling berbeda.
Harus ada sebuah logika yang runtut dan konsekuensi untuk tiap-tiap ijtihad. Karena itu sebagian ulama yang masuk ke dalam kelompok in berpendapat tidak bolehnya bergonta-ganti madzhab.
       Sedangkan pendapat yang berlawan mengatakan sebenarnya kalau diteliti lebih dalam, tidak ada kewajiban dari nash baik Quran maupun sunnah yang mengharuskan hal itu. Umumnya para ulama mengatakan bahwa setiap orang bebas untuk memilih mazhab mana yang ingin dipegangnya. Termasuk bila seseorang harus berganti madzhab berkali-kali. Dalilnya adalah bahwa dahulu Rasulullah SAW tidak pernah mewajibkan untuk bertanya kepada satu orang shahabat saja. Tetapi siapa saja dari shahabat yang punya pengetahuan tentang suatu masalah, boleh dijadikan rujukan. Sebagaimana firman Allah: “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS An-Nahl: 43)
       Ayat ini tidak mewajibkan bila sudah bertanya kepada satu orang, maka tidak boleh lagi bertanya kepada orang lain. Ayat ini hanya mensyaratkan bahwa kita wajib bertanya kalau tidak tahu, agar dapat beribadah dengan benar. Namun tidak boleh bertanya kepada sembarang orang, harus kepada ahluz-zikr, yang diterjemahkan sebagai ulama, fuqaha'''' ahli ilmu syariah yang kompeten dan benar-benar menguasai bidangnya. Tapi tidak mengharuskan hanya pada satu orang saja.
       Di tengah beda pendapat antara dua ''kubu'' ini, kami lebih cenderung kepada pendapat yang memudahkan. Yaitu pendapat yang intinya tidak bikin susah seorang yang ingin menjalankan agamanya. Dan kondisi bisa saja berbeda-beda untuk tiap orang.
Di tempat tertentu, ada mungkin seorang 'alim yang sangat menguasai ilmu agama dalam versi madzhab tertentu. Boleh dibilang bahwa dalam semua masalah agama, beliaulah satu-satunya rujukan yang ada. Meski ilmunya hanya dengan satu paham madzhab saja. Maka seorang muslim awam boleh bertanya kepada beliau dan menjadikannya sebagai rujukan dalam masalah agama.
       Tidak ada kewajiban bagi si awam ini untuk melakukan konsultasi silang kepada ulama lain yang tidak terjangkau baginya. Asalkan si ''''alim itu memang seorang yang menguasai masalah fiqih, cukuplah bagi masyarakat di sekitarnya menjadikan pendapat-pendapat beliau sebagai rujukan. Atau dalam bahasa lainnya, bertaqlid kepadanya. Tetapi bertaqlid di sini bukan kewajiban, melainkan justru memudahkan. Sifatnya bukan keharusan, tetapi kebolehan.
       Di tempat lain boleh jadi ada surplus ulama, misalnya di situ berkumpul beberapa ulama dari beberapa madzhab yang saling. Maka buat orang-orang awam yang tinggal di tempat itu, boleh saja mereka berguru kepada masing-masing ulama dari beberapa madzhab itu. Tidak ada keharusan untuk ''''selalu setia sepanjang masa'''' dalam menjalankan pendapat dari ulama tertentu dari mereka. Sebagaimana juga tidak ada larangan untuk tetap setia kepada satu saja dari mereka.
       Ini yang kami maksud dengan prinsip yang memudahkan. Bila di suatu tempat hanya ada satu ulama, kita boleh bermadzhab satu saja, tidak wajib berpindah-pindah madzhab. Karena pindah-pindah itu justru menyulitkan. Sebaliknya, bila di suatu tempat ada banyak sumber ilmu dari beragam madzhab, boleh-boleh saja untuk membandingkannya dan memilih pendapat yang menurut kita paling kuat dalilnya. Tetapi juga tidak ada larangan untuk tetap berpegang saja pada satu madzhab, meski di sekeliling terdapat banyak madzhab lain.[18]
BAB III
PENUTUP

       Puji syukur senantiasa kami haturkan kepada Allah swt karena berkat taufiq dan ‘inayahNya makalah ini dapat terselesaikan. Dalam pembuatan makalah ini kami kesulitan mencari buku referensi, maka jalan yang kami tempuh adalah mencari referensi dari internet. Hal itu dapat dilihat dari footnote yang ada.
       Sebagai penutup dari makalah ini, kami sampaikan banyak terima kasih kepada pihak-pihak yang terkait dalam pembuatan makalah ini. Juga kami ucapkan terima kasih kepada bapak Dosen yang berkenan memberikan arahan kepada kami.
       Makalah kami ini jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran membangun senantiasa kami nantikan. Terakhir kami mohon ma’af atas kesalahan dan kekurangan yang terdapat dalam makalah ini.


[1] ENSIKLOPEDI ISLAM 2 Fas Kal, hlm. 183
[2] Drs. H. Chabib Toha MA, Ke-NU-an Ahlussunnah Wal Jama’ah, hlm. 33
[3] Ibid, hlm. 32
[4] Http://Syedeelee.tripod.com
[5] Http://www.nu.or.id
[6] Yusuf al-Qardawy, al-Ijtihad fisy-syari’ah al-Islamiyah, hlm.
[7] ENSIKLOPEDI ISLAM 2 Fas Kal, hlm. 185
[8] Ibid, hlm. 185-186
[9] http://baradikal.multiply.com/journal/item/5/Ijtihad_Kontemporer
[11] http://abahzacky.wordpress.com/2010/02/08/antara-ittiba’-dan-taqlid/
[12] http://www.al-ulama.net/home-mainmenu-1/tafseer/24-ber-ittiba’-kepada-rasul-html
[13] http://deriaadlis.blogspot.com/2010/01/ushul-fiqhfiqh-ijtihad-taqlid-ittiba_14.html
[14] HTTP://syedelee.tripod.com/keunggulanislam/id50.html
[15] Loc.cit.
[17] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar