Minggu, 24 April 2011

TAQLID


DEFINISINYA :

Secara bahasa :

وضع الشيء في العنق محيطاً به كالقلادة

“Meletakkan sesuatu di leher dengan melilitkan padanya seperti tali kekang.”

Secara istilah :

اتباع من ليس قوله حجة

“Mengikuti perkataan orang yang perkataannya bukan hujjah.”

Keluar dari perkataan kami : (
من ليس قوله حجة ) “orang yang perkataannya bukan hujjah” :

ittiba’ (mengikuti) Nabi sholallohu alaihi wa sallam, mengikuti ahlul ijma’, dan mengikuti shahabat jika kita katakan bahwa perkataan shahabat tersebut adalah hujjah, maka mengikuti salah satu dari hal tersebut tidaklah dinamakan taqlid, karena hal ini merupakan ittiba’ kepada hujjah. Akan tetapi terkadang disebut sebagai taqlid dari sisi majaz dan perluasan bahasa.


Jumat, 22 April 2011

Pola Pemikiran Imam Madzhab


BAB I
PENDAHULUAN
       Dalam perjalanan sejarah fiqh, telah muncul berbagai aliran dalam fiqh baik itu yang bersifat keagamaan ataupun yang bertendensi politik. Begitu pula dalam pola pikir yang dibangun oleh fuqaha juga berbeda, masing-masing aliran memiliki kelebihan dan kekurangan. Perbedaan ini terletak pada cara pandang dan analisis nash (teks). Perbedaan cara pandang dan metode penetapan hukum tersebut, akhirnya melahirkan aliran-aliran tertentu, yang kemudian dikenal dengan aliran Ahlul Hadis dan Ahlur Ra’yi, atau ada yang menyebut dengan istilah aliran tradisionalisme dan rasionalisme.
       Berkembangnya kedua aliran ijtihad tersebut pada akhirnya melahirkan madzhab-madzhab dalam fiqh yang memiliki corak metodologi dan produk hukum Islam atau fiqh tersendiri, serta masing-masing juga telah memiliki pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Dalam sejarahnya, dikenal beberapa madzhab yang secara umum dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yakni madzhab Sunni dan madzhab Syi’i.
       Dalam madzhab Sunni sendiri dikenal berbagai madzhab, antara lain: madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Auza’i, Laitsi, Tsauri dan Dhahiri. Sedangkan madzhab atau aliran Syi’i antara lain: Aliran Itsna Asy’ariyah, Zaidiyah, Ismailiyah, Kisaniyah, Fathaniyah, Waqiyah dan Nawusiyah.
       Dalam tulisan ini akan coba dibahas mengenai empat mazdhab fiqh Sunni, yakni: madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali, yang keberadaannya masih eksis sampai saat ini. Aspek-aspek yang dibahas yaitu mengenai asal-usul pertumbuhannya dan dasar-dasar pemikiran ijtihadi dari masing-masing madzhab tersebut.[1]




Cara Membuat Akun facebook

untuk membuat akun facebook, anda harus mempunyai sebuah email, sudahkah anda mempunyai email ?

kalau belum silahkan log in ke alamat www.yahoomail.com.
akan muncul halaman sign in dengan memasukkan email dan pasword,
klik link create a new account kemudian isi semua data yang disuruh mengisi,terakhir klik create my account, setelah berhasil akan muncul halaman yang memberitahukan anda sudah berhasil membuat email, kemudian klik continue.

Kamis, 21 April 2011

Ijtihad, ittiba', taqlid, talfik dan intiqal madzhab


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Pengertian Ijtihad, Ittiba’, Taqlid, Talfiq dan Intiqal madzhab
       Secara bahasa lafadz ijtihad adalah bentuk mashdar dari fi’il ijtahada yang berarti berusaha dengan sungguh-sungguh. Dalam bidang fikih, berarti mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan hukum-hukum yang terkandung di dalam Al Qur’an dengan syarat-syarat tertentu. Adapun menurut para ahli ushul fikih, antara lain Imam Syaukani dan Imam Zarkasyi, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syara’ (hukum Islam) yang bersifat operasional dengan isthinbath. Menurut Imam al-Amidi, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan ntuk mencari hukum Islam yang bersifat Dhanny sampai merasa dirinya tidak mampu mencari tambahan kemampuannya itu.[1]
       Ittiba’ menurut bahasa berarti mengikuti, sedangkan menurut istilah adalah Menerima pendapat seseorang dengan mengetahui dasar dalilnya.[2] Sedangkan Taqlid adalah kebalikan dari ittiba’ yaitu mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui dalilnya.[3]
       Talfiq adalah mengikuti pendapat satu Imam dalam satu masalah kemudian bertaqlid kepada Imam lain dalam masalah lain.[4] Sedangkan Intiqal Madzhab adalah berpindah dari satu madzhab ke madzhab lain secara keseluruhan hukum imam yang diikuti.[5]








Intiqol madzhab


       Apakah setiap muslim di masa sekarang harus mengikat dirinya dengan salah satu madzhab yang ada dan selalu mengambil pendapat madzhabnya saja, atau bolehkah kita berganti-ganti pegangan dan mengambil pendapat yang paling ''''ringan'''' dari beberapa madzhab pada setiap masalah?
       Memang ada sedikit beda pendapat tentang masalah kesetiaan pada satu madzhab ini. Ada beberapa pendapat ulama yang menganjurkan agar kita tidak terlalu mudah bergonta-ganti madzhab. Bahkan ada juga yang sampai melarangnya hingga mengharamkannya. Sementara itu umumnya ulama tidak sampai mewajibkannya.
       Hujjah mereka yang mengharuskan berpegang pada satu madzhab adalah agar tidak terjadi kerancuan dalam aplikasi ibadah. Sebab tiap-tiap madzhab dihasilkan dari suatu logika ijthad yang sistematis, teratur dan runtut. Sehingga menurut pendapat ini, kita tidak boleh main campur aduk begitu saja hasil-hasil ijtihad yang metologinya saling berbeda.
Harus ada sebuah logika yang runtut dan konsekuensi untuk tiap-tiap ijtihad. Karena itu sebagian ulama yang masuk ke dalam kelompok in berpendapat tidak bolehnya bergonta-ganti madzhab.

Ijtihad jama'i


       Melihat realitas problematika fiqh kotemporer, maka para ulama melihat ijtihad kolektif merupakan terobosan yang paling efektif untuk mengantisipasinya, dimana kelompok ahli hokum Islam disamping penasehat ilmu lainnya yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, mereka meninjau masalah tersebut dari segala segi untuk menetapkan solusi hukumnya. Ini tidak menutup pintu ijtihad individual, karena ijtihad fardi merupakan jembatan menuju ijtihad jama’i. Seorang mujtahid menetapkan hukum suatu masalah dengan terlebih dahulu mengkaji seluruh disiplin ilmu yang berkaitan dengan melakukan klarifikasi kepada ahlinya.
       Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian library (library research) dan sifat penelitiannya adalah deskriptif analitik. Data yang terkumpul bersifat kualitatif dan dianalisis menggunakan metode berfikir deduktif yang berpijak dari fakta-fakta yang bersifat umum untuk diambil kesimpulan yang bersifat khusus, sedang pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normative.
       Ijtihad dalam pengertian “berpikir bebas” adalah mesin penggerak sejarah. Ijtihad dalam teori terminology fiqh merupakan kunci dinamika ajaran Islam dalam mengantisipasi dinamika perubahan zaman. Adapun tujuannya untuk mencari solusi hukum dari suatu persoalan-persoalan yang muncul, karena dengan ijtihad pula fleksibilitas dan elastisitas hukum Islam. Syarat-syarat ijtihad menurut formulasi fiqh klasik sangat ketat dan sulit dipenuhi di zaman ini. Jika itu dijadikan ukuran keabsahan ijtihad, maka ijtihad yang paling relevan di zaman ini adalah ijtihad jama’i

Ijtihad dan urgensinya dalam hukum islam


Ijtihad dan Urgensinya dalam Hukum Islam
Tidak ada seorang atau kelompok manapun dalam Islam yang mengingkari adanya konsep universalime syariat Islam. Bahwa syariat Islam adalah tatanan dan aturan hidup yang komprehensif. Di satu sisi, dialektika sejarah selalu melahirkan berbagai problematika hidup dan pada sisi yang lain Islam hadir dan siap menyediakan referensi normatif (baca;wahyu) atas berbagai persoalan tersebut.
Islam mengatur segala aspek kehidupan dari mulai hal yang terkecil sampai pada hal yang diluar jangkauan manusia (gaib dan metafisik). Maka dapat dipastikan,  manusia muslim, terutama para ulamanya senantiasa berusaha menjelaskan kepada siapa saja bahwa Islam adalah agama yang tepat untuk dianut. Munculnya permasalahan-permasalahan baru yang menuntut legalitas hukum selalu dicarikan solusinya dalam al-Quran dan Sunah. Kalaupun tidak didapatkan di dalamnya, mereka akan berusaha dengan keras mencarikan jalan keluarnya, dan  tentu dengan metode-metode sistematis yang telah disepakati (ijmak). Inilah yang dimaksud dengan ijtihad, yaitu usaha seoarang muslim untuk menentukan hukum pada sebuah realitas dengan mengambil dalil-dalil syar’i atau dengan kata lain (menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah) ijtihad yaitu mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan hukum Islam baik dalam bidang akidah, filsafat, tasawuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu.
Dalam Islam, ijtihad merupakan bahasan yang tak henti-hentinya dan menjadi kajian ramai para ulama zaman klasik hingga sekarang, sebut saja misalnya Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa-nya. Demikian juga dengan Imam as-Syaukani dalam bukunya Irsyad al-Fukhul sampai pada ulama-ulama kontemporer semisal Abdul Wahab Khalaf, Yusuf Qaradhawi, Wahbah Zuhaili,  dan Ali Jum'ah. Bahkan hampir di setiap buku-buku ushul fikih selalu disisakan ruang pembahasan resmi tentang ijtihad. Adapun sandaran teks-teks keagamaan  yang mengatakan bahwa ijtihad masih relevan sampai zaman sekarang diantaranya adalah Firman-Nya: “Fain tanâza’tum fî syaiin farudduhu ilalLâh wa al-Rasuli inkuntum tu’minu bilLahi wal-yaumu al-âkhir” (QS:4:59). Adanya kalimat “al-rad” dalam ayat tersebut mengindikasikan akan adanya ijtihad yang harus dilakukan oleh manusia. Selain itu, ayat lain menyebutkan “wa amruhum syurâ bainahum”, kata “syura” dalam ayat tersebut mengandung arti pembahasan segala sesuatu untuk menentukan hukum syar’i pada setiap permasalahan dengan merujuk pada  dalil yang terdapat pada nash ataupun tidak. Hal ini tidak lain merupakan suatu ijtihad. Begitu juga dengan perkataan Rasul yang menyebutkan bahwa Allah akan mengutus seorang pembaharu agama pada umat Islam dalam setiap seratus tahunnya. Pembaharu (mujaddid) tersebut sudah barang tentu adalah orang yang memiliki pengetahan yang luas dan kafa’ah dalam ilmu syariah sehingga mampu menghidupkan Sunah dan menghindari bidah. Tidak lain adalah  ijtihad itu sendiri. Dalam  hadis lain, Nabi mengatakan bahwa apabila seseorang berijtihad dan dia benar maka baginya dua pahala, namun bila dia salah maka baginya satu pahala. Begitu juga dengan perizinan Nabi kepada sahabat Mu’adz bin Jabal ra. ketika mengutusnya  ke Yaman untuk tidak mengapa berijtihad ketika di dalam al-Quran dan Sunah tidak didapati  legalitas sebuah obyek.
Bersama dengan hal ini, maka sepatutnya kita mengatakan bahwa pintu ijtihad sampai sekarang masih terbuka, bahkan menjadi suatu kebutuhan yang primer terutama pada era globalisasi seperti sekarang ini, dimana perkembangan teknologi dan munculnya permasalahan-permasalahan baru selalu menuntut legalitas hukum. Oleh karenanya hampir semua ulama menyatakan akan wajibnya berijtihad bagi siapa saja yang telah mampu dan memenuhi kriteria untuk berijtihad. Dr. Wahbah Zuhali, ulama kontemporer dari Damaskus Siria berpendapat, bahwa tuntutan perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan di masa ini mengharuskan kita untuk menggunakan ijtihad sebagai instrumen  pengambilan hukum. Hal senada juga di ungkapkan oleh Abdurrahman Zaidi dalam risalah magister-nya yang berkenaan dengan masalah ijtihad, ia menyatakan bahwa ijtihad merupakan perbuatan yang terpuji bahkan dharuri, hal itu didasarkan pada dua alasan utama. Pertama, tidak diperbolehkannya seorang muslim menggunakan hawa nafsunya dalam memutuskan hukum pada setia kejadian dan masalah-masalah baru, maka menjadi wajib bagi kita menggunakan ijtihad.  Kedua, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama akan kebutuhan berijtihad dalam menentukan hukum pada setiap permasalahan yang ada.
Maka, pendapat yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup pada dasarnya hal itu disandarkan pada sejarah dimana ketika abad ke-4 Hijriyah umat Islam saat itu mengalami perpecahan. Dr Ahmad Buud (2006) berhipotesa akan  beberapa hal yang menyebabkan kemandegan dalam berijtihad saat itu diantaranya adalah, pertama, fanatisme mazhabiyyah tertentu. Kedua,  hilangnya rasa kebebasan individu, karena pada masa tersebut, otoritas pemerintahan dipegang oleh seorang raja (hegemoni kekuasaan) bukan lagi khalifah. Ketiga, para ulama fikih sendiri banyak yang terjerumus pada urusan politik, sehingga fatwa-fatwa mereka lebih banyak digantungkan pada kondisi politik tertentu atau saat itu. Keempat, terpecahnya Daulah al-Islamiyah menjadi beberapa wilayah, sehingga proses kreatif berijtihad menjadi sedikit terhambat.
Kemandegan berijtihad tersebut pada akhirnya banyak menimbulkan pengaruh negatif bagi umat Islam itu sendiri, diantaranya tercerabutnya nilai-nilai dakwah dari sistem Islam itu sendiri. Terlihat seakan-akan ada jurang pemisah antara syariah dengan fenomena hidup yang terjadi. Padahal hakekatnya, syariat Islam selamanya akan sesuai dengan dilalektika hidup. Namun seiring berjalannya waktu, akhirnya membawa umat Islam pada sebuah kesadaran bahwa Islam dengan sistem holistiknya tidak akan bisa berkembang jika pintu ijtihad tertutup. Titik kesadaran umat Islam juga mulai sembuh dengan adanya usaha merekonstruksi kembali pemahaman Islam, yang tak lain adalah pembumian kembali konsep ijtihad tadi. Akhirnya dunia Islampun senantiasa membuka pintu selebar-lebarnya kepada para mujtahid untuk berijtihad dan berkreasi.
Uraian diatas sebenarnya mengerucut pada pembahasan mengenai pentingnya ijtihad dan urgensinya dalam kehidupan kita, sebagai upaya pembumian syariat islam yang kita yakini sebagai manhaj hidup. Dengan ijtihad, maka syariat Islam selamanya akan terlihat eliminer dalam berbagai ruang dan waktu. Tak ayal, ijtihad di era kontemporer adalah suatu keniscayaan.



Dasar-Dasar Ijtihad Kontemporer
Saat ini, diyakini manusia  telah mencapai puncak kehidupan mutakhirnya, dimana kamus mengistilahkannya dengan "globalisasi", artinya dunia semakin mengecil dan segala sesuatu sangat mudah kita dapatkan dengan ditandai akan berbagai perkembangan teknologi. Dunia tak ubahnya seperti sebuah desa kecil. Seakan sudah tidak ada lagi sekat dan jarak yang memisahkan manusia. Namun, seiring dengan laju perkembangan zaman, maka bertambah pula permasalahan baru yang muncul dan menuntut pembuktian Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin untuk  memberikan solusi yang tepat. Hal ini pada akhirnya menuntut seorang mujtahid yang mempunyai otoritas dalam menentukan hukum untuk turut menyelesaikan problematika kehidupan umat. Dr Ahmad Buud (2006), menambahkan, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi karakteristik dan dampak negatif maupun positif dari modernitas, diantaranya adalah, pertama, semakin terbebasnya manusia dari kejumudan dan taklid yang membutakan. Kedua, kemajuan dan perkembangan teknologi, terutama dari Barat. Ketiga, kegandrungan masyarakat dunia pada kacamata (worldview) Barat, hingga tersebar  paham  sekulerisme dan liberalisme di dunia Islam.  Keempat, kebangkitan umat Islam mengejar ketertinggalannya dari Barat.
Di sisi lain, pada hakekatnya tidak ada perbedaan mendasar antara sebuah tuntutan kebangkitan ruh berijtihad sebagai sebuah bentuk gerakan pencerahan (aukflarung) dengan kewajiban beragama itu sendiri. Keduanya memiliki akar dan titik tolak yang sama, dimana tujuan keduanya akan bermuara pada pembumian firman-Nya (QS:2:30), yaitu bahwa manusia diutus ke bumi tak lain adalah sebagai khalifah-Nya. Maka  manusia berbeda dengan makhluk lain, ia diberi kelebihan akal. Manusia dapat berfikir dan mampu membedakan hal yang baik dan buruk, sehingga tidak heran apabila manusia disebut oleh Allah sebagai sebaik-baik makhluk ciptaan-Nya. Hal ini jugalah yang menjadi alasan bagi Allah kenapa Dia menurunkan wahyu-Nya dalam bentuk nash-nash yang global. Disamping RasululLah yang diutus untuk menjelaskan isi kandungan al-Quran, juga menjadi tugas manusia sebagai hamba yang berakal untuk menggali teks-teks tersebut, terutama pada problematika baru yang datang sesudah Rasulullah Saw. mangkat. Kaitanya dalam hal ini, Dr Ahmad Bu’ud dalam bukunya , Ijtihad, baina haqaiq al-tarikh wa mutathalibat al-waqi, memberikan rambu dan perangkat  utama pada seorang mujtahid untuk  berijtihad di era kontemporer ini.
Pertama, fikih nashiy dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Hal yang paling pertama dilakukan oleh seorang mujtahid ketika berijtihad adalah mencari landasan dalil-dalil hukum yang terdapat dalam al-Quran dan Sunah. Baik permasalahan yang sudah terdapat  teks-teks resminya maupun yang belum. Ini penting dilakukan mengingat keduanya, al-Quran dan Sunah adalah dua sumber entitas resmi agama Islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam hal ini, juga harus dihindari kesalahan-kesalahan dalam memahami teks (nash).
Penggalian hukum tidak cukup hanya dengan bermodalkan keislaman dan keimanan serta pemahaman awal seseorang terhadap nash-nash saja. Juga tidak cukup dengan satu, dua atau tiga orang saja. Lebih dari itu untuk kemaslahatan umat dan ketepatan berijtihad, diperlukan kerjasama semua komponen yang berkaitan dengan masalah tersebut, agar produk hukum tersebut menjadi kuat dan bijak. Di samping itu beberapa kaidah dalam memahami teks yang perlu dimiliki oleh seorang mujtahid diantaranya; (a). memiliki kapabilitas dalam pengetahuan bahasa Arab, (b). mengetahui sebab turunnya sebuah ayat atau hadis (asbab al-nuzul wa al-wurud), (c). mengetahui tujuan atau maksud dari turunnya ayat tersebut (maqashid al-Syari'ah).
Kedua, fikih realitas (al-waqa'iy) Hal kedua yang harus dilakukan oleh mujtahid setelah memahami teks al-Quran dan Sunah adalah memahami realita atau yang sering diistilahkan dengan fiqh al-waqi’, yaitu pemahaman yang integral terhadap sebuah obyek atau realitas yang dihadapi oleh manusia dalam ranah hidupnya. Adapun hal-hal yang mencakup fiqh al-waqi’ adalah: (a). Memahami dan mengetahui pengaruh-pengaruh alami yang muncul di lingkungan sekitarnya, terutama kondisi geografis wilayah tertentu dimana mujtahid tersebut hidup dan tinggal. (b). Mengetahui kondisi sosial kemasyarakatan dan transformasinya dalam berbagai bentuk yang memiliki keterikatan sosial dengan manusia. Yang dimaksud dengan keterikatan sosial disini adalah segala sesuatu yang berhubungan antara satu orang dengan yang lainnya apapun jenis hubungan tersebut, baik dalam ranah agama, budaya, ekonomi, politik atau militer. (c). Di samping memahami realita sosial yang melingkupi sebuah permasalahan, seorang mujtahid juga dituntut untuk mempelajari kondisi psikologi manusia sekitarnya. Karena antara realitas dan sisi dalam kemanusiaan individu manusia memiliki keterikatan yang kuat, keduanya tidak bisa dipisahkan.
Ketiga, ijtihad kolektif (jama'iy). Masih menurut Dr Ahmad Bu’ud, ijtihad kontemporer hanya bisa dilakukan dengan merealisasikan ijtihad kolektif (ijtihâd jamâ’îy), kecuali ketika keadaan benar-benar mendesak. Kebutuhan ijtihad kolektif didasari oleh realita dan problematika masyarakat yang komplikatif, yang tidak bisa hanya diselesaikan oleh individu perorangan saja, walaupun orang tersebut memilki kapabilitas. Maka, keberadaan sebuah lembaga atau institusi yang mengakomodir para mujtahid dari berbagai bidang ilmu, mutlak diperlukan di era kontemporer ini. Terpahami,  bahwa keberadaan ijtihad kolektif ini akan tercermin dalam sebuah aktifitas musyawarah (syûrâ). Dari sinilah titik temu (problem solving) dari sebuah permasalahan akan ditemukan.
Inilah yang disebut ijtihad, dimana syarat-syarat para mujtahid yang disebutkan terpenuhi di dalamnya. Mereka berijtihad  membahas problematika umat, masing-masing dengan argumentasi dan dalil-dalil yang didasarkan pada nash-nash wahyu dan maqashid as-syâri’ah. Juga bisa kita sebut sebagai musyawarah (syûra), karena di dalamnya mampu menampung komunitas tertentu yang bersama-sama membahas dan memusyawarahkan permasalahan. Usaha seorang mujtahid dan ijtihadnya tidak bisa dikatakan sebagai ijtihad kolektif sebelum terealisasikan dalam sebuah  aktifitas musyawarah. Musyawarah tersebutpun tidak bisa terwujud kecuali dengan dihadiri oleh para mujtahid yang memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid serta memiliki kapabilitas dan keahlian di bidangnya masing-masing.
Pertanyaannya, bagaimanakah aplikasi ijtihad kolektif (ijtihâd jamâ’î) pada era sekarang ini? Saat ini kita bisa melihat ijtihad kolektif tersebut termanifestikan dalam berbagai bentuk lembaga ijtihad. Seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majma' al-buhuts al-Islamiyyah al-Azhar, Lembaga Fatwa Mesir (Dâr Iftâ' Mishriy), Lembaga Fikih Islam Mekah yang berpusat di Jedah, Majelis Fatwa Eropa dan Amerika Utara dan masih banyak lagi lembaga-lembaga Islam yang bergerak dalam bidang ijtihad. Lembaga ijtihad tersebut mengakomodir para ulama yang mempunyai wewenang dalam memutuskan hukum tersebut.  Dr. Qutub Musthafa Sanu membagi tiga macam bentuk ijtihad kolektif  yang ada pada zaman ini dan  masing-masing memiliki tugas-tugas tertentu.
(a). Lembaga Ijtihad Lokal (wilayah atau provinsi), yang melihat dan membahas permasalahan-permasalahan lokal atau wilayah tertentu. Lembaga inilah yang kemudian mempunyai keterikatan dan hubungan dengan masyarakat atau suatu komunitas. Maka  lembaga ini dituntut untuk benar-benar memusatkan perhatiannya pada perkembangan masyarakat tersebut agar tercipta kemaslahatan di dalamnya. Semisal Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah provinsi Sumatera Selatan yang berkedudukan di Ogan Komering Palembang Indonesia.
(b). Lembaga Ijtihad Regional. Lembaga ini mempunyai tugas untuk membahas problematika masyatrakat dalam sekup wilayah regional yang memiliki sifat, kebiasaan, tradisi yang mengikat dan kemaslahatan bersama. Biasanya strukturnya setingkat negara, seperti MUI atau  Dâr Iftâ' Mishriy.
(c). Lembaga Ijtihad Internasional. Lembaga ijtihad ini hadir untuk membahas problematika umat kekinian dengan sekup internasional, seperti Lembaga fatwa milik OKI (Organisasi Konferensi Islam). Biasanya lembaga tersebut mengadakan muktamar tahunan guna membahas permasalahan-permasalahan umat yang terjadi di belahan dunia Islam.

Fenomena Ijtihad Kontemporer di Indonesia
Indonesia, seperti yang telah kita ketahui, adalah sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Dan Muhammadiyah serta  Nahdhatul Ulama adalah dua organisasi Islam (sosial keagamaan) yang terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Keduanya memiliki kemiripan dalam visi dan misinya yaitu untuk mengembalikan kejayaan umat Islam serta membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Banyaknya permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia, menuntut kedua organisasi tersebut untuk ikut andil dalam menyelesaikannya. Terkait dalam hal ini, kita tahu ada lembaga ijtihad yang ada pada tubuh kedua organisasi ini. Di Muhammadiyah kita mengenalnya dengan Majelis Tarjih dan Tajdid dan  dalam Nahdhatul Ulama  kita mengenal Bahsul Masa'il. Atau kalau di Persatuan Islam (Persis), kita mengenal Dewan Buhus Islamiyyah. Sedangkan lembaga ijtihad lain yang lebih independen dan di bawah naungan pemerintah (Departemen Agama Indonesia) adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lembaga-lembaga ijtihad ini memilki orientasi dan tugas yang sama, yaitu sama-sama membahas dan memecahkan problematika umat terutama dalam berbagai permasalahan yang terkait dengan hukum-hukum Islam. Namun demikian, masing-masing memiliki manhaj pemikiran yang berbeda. Manhaj pemikiran yang dimaksud adalah sebuah kerangka kerja metodologis dalam merumuskan masalah pemikiran dan prosedur-prosedur penyelesaiannya. Di dalamnya memuat asumsi dasar, prinsip pengembangan, metodologi sekaligus  operasionalisasinya. Maka tidak heran kalau terkadang terjadi perbedaan-perbedaan dalam memutuskan perkara-perkara tertentu. semacam penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal Idul Fitri.  Walaupun demikian, ketiga lembaga ijtihad tersebut dan berbagai lembaga ijtihad lainnya yang berada di Indonesia, dalam dinamika kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan dengan senantiasa merujuk pada ajaran Islam. Kehadiran beberapa lembaga Ijtihad di Indonesia pada dasarnya bukan untuk saling berbeda, tetapi justru untuk saling melengkapi. Adapun perbedaan yang terjadi tidak pada masalah-masalah fundamental (tauhid), tetapi pada masalah-masalah yang furu’. Dan kita semua tahu bahwa permasalahan yang sifatnya furu’ merupakan lahan ijtihad bagi para mujtahid. Oleh karenanya, sekarang bukan saatnya kita untuk saling bertengkar dan berselisih hanya karena berbeda ijtihad. Sebagai negara yang memiliki penduduk Islam terbesar di dunia, sudah saatnya kita bersikap dewasa dan moderat. Dengan kedua sikap tersebut, kontekstualisasi ijtihad sebagai bagian penyegaran kehidupan keagamaan umat bisa dinilai berhasil. 

Problematika PAI


BAB I
PENDAHULUAN
Proses Implementasi kurikulum 2004 yang telah mendapatkan penyesuaian menjadi model pengelolaan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) 2006 di Madarasah belum secara keseluruhan menjangkau tiap guru bidang studi pendidikan agama Islam. Hal ini diperkuat oleh suatu kenyataan bahwa perangkat konseptual kebijakan kurikulum ini justru belum dimiliki secara utuh oleh sekolah. Persoalan lain dalam proses implementasi kurikulum ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan, sikap dan ketrampilan guru yang beragam, termasuk faktor kualifikasi, latar belakang pendidikan, pengalaman inservice training atau pelatihan serta pembinaan yang diterima guru di Madasah.
Persoalan lain yang menjadi kendala dalam implementasi isi kurikulum menyangkut waktu yang disediakan belum memadai untuk muatan materi yang begitu padat dan memang penting; yakni menuntut pemantapan pengetahuan hingga terbentuk watak dan keperibadian bagi peserta didik. Kelemahan lain, bidang studi pendididkan agama yang terdiri dari Aqidah Akhlak, al-Qur’an Hadist, Fiqih, Bahasa Arab dan Sejarah Kebudayaan Islam lebih terfokus pada pengayaan pengetahuan (kognitif) dan minim dalam pembentukan sikap (afektif) serta pelaksanaan/praktik (psikomotorik). Dalam implementasinya juga lebih didominasi pencapaian kemampuan kognitif. Kurang mengakomodasikan kebutuhan afektif dan psikomotorik. Kendala lain adalah kurangnya keikutsertaan guru mata pelajaran lain dalam memberi motivasi kepada peserta didik untuk mempraktekkan nilai-nilai pendidikan agama Islam dalam kehidupan sehari-hari. Lalu lemahnya sumber daya guru dalam pengembangan pendekatan dan metode yang lebih variatif, minimnya berbagai sarana pelatihan dan pengembangan, serta rendahnya peran serta orang tua peserta didik. Ini semua sangat berpengaruh terhadap proses implementasi sebuah kurikulum.
Pokok permasalahan yang menjadi sumber utama problematika pendidikan agama di Madrasah selama ini hanya dipandang melalui aspek kognitif atau nilai dalam bentuk angka saja, tidak dipandang bagaimana siswa didik mengamalkan dalam dunia nyata sehingga belajar agama sebatas menghafal dan mencatat. Hal ini mengakibatkan pelajaran agama menjadi pelajaran teoritis bukan pengamalan atau penghayatan terhadap nilai agama itu sendiri. Paulo Freire menegaskan bahwa fungsi pendidikan adalah untuk pembebasan, bukan untuk penguasaan. Tujuan pendidikan adalah untuk menggarap realitas manusia, dan karena itu secara metodologis bertumpu pada prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk mengubah kenyataan yang menindas dan pada sisi lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk mengubah kenyataan yang menindas.

PAI dalam keluarga


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Pengertian Pendidikan Agama Islam dan Keluarga
       Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan[1]. Sedangkan Pendidikan Agama Islam adalah suatu usaha bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar nantinya ia dapat memahami apa yang terkandung di dalam Islam secara keseluruhan serta berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam, Ahmad Tafsir ( 1994: 32 )
       Keluarga bisa diartikan ibu dan bapak beserta anak-anaknya; sanak saudara; kaum kerabat; orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat[2].
B.    Partisipasi Orang Tua terhadap Peningkatan Mutu Pendidikan Agama Islam Anak
       Setiap orang tua menginginkan anaknya menjadi orang yang berkembang secara sempurna. Untuk mencapai tujuan itu maka orang tualah menjadi pendidik pertama, orang tualah yang banyak memberikan pengaruh dan warna kepribadian pada anaknya. Orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi, dan mendidik anak agar tumbuh dan berkembang dengan baik.
       Lembaga pendidikan keluarga memberikan pengalaman pertama yang merupakan  faktor penting dalam perkembangan pribadi anak Suasana pendidikan keluarga ini sangat penting diperhatikan, sebab dari sinilah keseimbangan jiwa di dalam perkembangan individu selanjutnya ditentukan. Sangat wajar dan logis jika tanggung jawab pendidikan terletak di tangan kedua orang tua dan tidak bisa dipikulkan kepada orang lain, karena ia adalah darah dagingnya. Namun karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki orang tua maka sebagian tanggung jawab pendidikan dapat dilimpahkan kepada  orang lain yaitu sekolah.
       Pendidikan agama Islam di sekolah tidak akan mencapai hasil atau tujuan apabila tidak ada dukungan dan kerjasama dari orang tua. Di dalam UU Nomor  20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 7 ayat 2 dinyatakan bahwa: orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya. Selanjutnya pada pasal 54 ayat 1 dinyatakan pula bahwa : peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Untuk itulah perlu adanya kerja sama dari berbagai pihak khususnya orang tua sebagai pendidikan di rumah.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pendidikan Agama Islam dalam Keluarga
       Pendidikan agama Islam pada lembaga pendidikan formal belum mencapai hasil yang maksimal. Hal ini dilihat dari semakin menurunnya moral dan akhlak dari peserta didik. Kurangnya rasa hormat anak kepada orang tua di rumah dan guru di sekolah. Memudarnya sikap empati dan simpati atas penderitaan orang lain. Kesemuanya itu merupakan gambaran ketidak berhasilan pendidikan agama pada sekolah tersebut, disamping itu tidak adanya dukungan orang tua di rumah terhadap pendidikan agama Islam pada anak.
       Di sekolah anak diajarkan doa-doa harian dan membiasakan anak untuk menggunakan kalimat thoyibah namun ketika di rumah anak menemukan kebiasaan orang tua yang sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan di sekolah sehingga anak menjadi bingung. Orang tua  juga tidak memperhatikan sekolah anaknya seperti memperhatikan pengalaman-pengalamannya, menghargai usahanya, membantu membuat pekerjaan rumahnya serta motivasi dan membimbing anak dalam  belajar.
       Kunci keberhasilan pendidikan agama di sekolah terletak pada pendidikan agama dalam keluarga telah tertanam dengan baik maka secara tidak langsung akan sangat berpengaruh bagi pendidikan anak di sekolah. Guru akan merasa sangat terbantu, karena tinggal melanjutkan perkembangan secara rinci. Peningkatan mutu pendidikan agama Islam bukan hanya sekedar hanya isapan jempol, tetapi dapat terwujud apabila ada partisipasi dan kerja sama dari orang tua peserta didik dengan guru di sekolah.
       Hubungan kerja sama ini sangat diperlukan bertujuan untuk :
1.       Saling membantu dan saling isi mengisi
2.       Bantuan finansial dan material
3.       Untuk mencegah perbuatan-perbuatan kurang baik
4.       Bersama-sama membuat rencana yang baik untuk sang anak.Aly, (2000:135)
       Berdasarkan hasil riset, bahwa pekerjaan Guru (Pendidik) di sekolah akan lebih efektif apabila dia mengetahui latar belakang dan pengalaman anak didik di rumah tangganya. Anak didik yang kurang mampu dalam pelajaran akan menjadi lebih mengerti akan pelajaran, semua itu berkat kerja sama orang tua, sehingga kelemahan yang ada pada anak didik bisa teratasi. Lambat laun juga orang tua menyadari bahwa pendidikan atau keadaan lingkungan rumah tangga dapat membantu atau menghalangi kesukaran anak di sekolah Hasbullah, (2000: 90)
       Mengingat pentingnya pendidikan agama, khususnya pendidikan agama Islam bagi pembentukan akhlak dan kepribadian anak maka partisipasi orang tua sangat diharapkan. Artinya orang tua di rumah harus lebih memfungsikan peranannya sebagai pendidik utama, agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal yang meliputi seluruh aspek perkembangan anaknya yaitu jasmani, akal  dan rohani. Dengan mengetahui fungsi tersebut maka perlu ditumbuhkan kesadaran tanggung jawab mendidik dan membina anak secara kontinyu kepada setiap orang, sehingga pendidikan dilakukan tidak lagi berdasarkan kebiasaan yang dilihat dari orang tua tapi telah didasari teori-teori pendidikan, yang sesuai dengan perkembangan zaman yang cenderung selalu berubah.
       Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pendidikan agama Islam maka diperlukan adanya kerja sama antara orang tua, anak didik dengan pendidik dalam berbagai hal. Sehingga dengan bentuk kerja sama tersebut sangat bermanfaat memajukan dan meningkatkan mutu pendidikan sekolah pada umumnya dan anak didik khususnya atau dengan kata lain internalisasi nilai pendidikan agama itu  membutuhkan sinergitas baik sekolah keluarga maupun masyarakat.

B.    Pendekatan Pengajaran Agama dalam Lingkungan Keluarga
       Keluarga dalam pandangan antropologi adalah satu kesatuan sosial terkecil yang dimiliki oleh manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki tempat tinggal dan ditandai oleh kerjasama ekonomi, berkembang, mendidik, melindungi, merakyat, dan sebagainya, sedangkan inti keluarga adalah ayah, ibu dan anak.
       Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan sesuai dengan kondisi rumah tangga masing-masing:
  1. Pendidikan anak prenatal
       Dimulai sejak saat memilih pasangan hidup ini adalah masalah ilmiah. Sifat orang tua besar kemungkinan diturunkan kepada anaknya. Jadi jika orang tua tidak ingin sulit mendidik anak, maka pilihlah jodoh yang tidak nakal.
       Suasana lahir batin seorang ibu yang sedang hamil dapat berpengaruh pada anak yang dikandungnya. Jadi, bila seorang ibu hamil hindarilah problem. Suasana yang buruk saat kehamilan akan dapat menyebabkan yang lahir sulit dididik.
  1. Memperdengarkan azan dan iqamat saat kelahiran anak
  2. Mendidik anak  dengan cara memberi nama yang baik
       Memberi nama yang baik terhadap anak juga mengundang suatu ta’lim (pengajaran) tentang syariat Islam karena dengan pemberian nama yang baik itu diharapkan melekat sifat yang baik pula pada anak tersebut. Sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Abu Daud
Artinya:
“Sesungguhnya pada hari kiamat nanti kalian akan dipanggil dengan nama-nama kalian dan nama papa kalian. Oleh karena itu buatlah nama yang baik untuk  kalian.


  1. Menyusui bayi (ASI)
     Menyusui anak, tidak hanya bernilai dilihat dari segi kesehatan fisik, melainkan juga segi perkembangan kejiwaan, dan bernilai pendidikan.
  1. Memilih teman bermain si anak.
      Untuk  membantu orang tua dalam memilih teman bermain anaknya ada tiga patokan:
  1. Pilih teman yang baik moralnya
  2. Pilih teman yang cerdas (IQ-nya tinggi)
  3. Pilih teman yang kuat aqidahnya.
  1. Mengisi waktu luang anak-anak dengan kegiatan yang bermanfaat bagi perkembangannya.
  2. Pembinaan dan mencontohkan
       Penanaman iman kepada anak-anak dapat dilakukan  dengan pembiasaan. Pembiasaan tidak memerlukan keterangan atau argument logis. Maksudnya biasakanlah anak-anak itu dan tidak perlu dijelaksan berulang-ulang mengapa harus begitu. Dengan demikian, pembiasaan itu datang dari kebiasaan itu sendiri.
       Dan berilah contoh langsung tanpa banyak keterangan. Perhatikan bagaimana kehidupan beragama sehari-hari seperti; membaca basmalah dari setiap pekerjaan.
  1. Hindari konflik ibu-bapak di depan anak
       Pertengkaran orang tua tidak baik dilihat dari segi pendidikan anak dalam keluarga. Pendidikan agama bukanlah sekedar pendidikan dan pengajaran, ternyata lebih luas mencakup suasana umum di rumah tangga.
  1. Melaksanakan peribadatan dengan teratur
  2. Orang tua menyeru anaknya ikut aktif dalam berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan.
       Dari beberapa  metode tersebut semuanya bertujuan untuk  penanaman nilai keimanan dalam hati generasi pelanjut yaitu anak-anak sebagai salah satu bagian dari suatu keluarga.
       Disnilah orang tua sebagai individu dewasa bertanggung jawab akan pendidikan keagamaan pada anaknya karena keluarga merupakan bagian kecil dari lembaga sosial yaitu masyarakat yang hidup berperadaban dan memiliki tata nilai baik itu hukum keagamaan maupun hukum kemasyarakatan.

BAB III
KESIMPULAN
       Pendidikan agama Islam pada lembaga pendidikan formal belum mencapai hasil yang maksimal. Hal ini dilihat dari semakin menurunnya moral dan akhlak dari peserta didik. Kurangnya rasa hormat anak kepada orang tua di rumah dan guru di sekolah. Memudarnya sikap empati dan simpati atas penderitaan orang lain. Kesemuanya itu merupakan gambaran ketidak berhasilan pendidikan agama pada sekolah tersebut, disamping itu tidak adanya dukungan orang tua di rumah terhadap pendidikan agama Islam pada anak.
       Kunci keberhasilan pendidikan agama di sekolah terletak pada pendidikan agama dalam keluarga telah tertanam dengan baik maka secara tidak langsung akan sangat berpengaruh bagi pendidikan anak di sekolah. Guru akan merasa sangat terbantu, karena tinggal melanjutkan perkembangan secara rinci. Peningkatan mutu pendidikan agama Islam bukan hanya sekedar hanya isapan jempol, tetapi dapat terwujud apabila ada partisipasi dan kerja sama dari orang tua peserta didik dengan guru di sekolah.
       Untuk mencapai hasil yang maksimal dalam pendidikan agama Islam maka diperlukan adanya kerja sama antara orang tua, anak didik dengan pendidik dalam berbagai hal. Sehingga dengan bentuk kerja sama tersebut sangat bermanfaat memajukan dan meningkatkan mutu pendidikan sekolah pada umumnya dan anak didik khususnya atau dengan kata lain internalisasi nilai pendidikan agama itu  membutuhkan sinergitas baik sekolah keluarga maupun masyarakat.
       Ada beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam pendidikan agama Islam sesuai dengan kondisi rumah tangga masing-masing:
  1. Pendidikan anak prenatal
  2. Memperdengarkan azan dan iqamat saat kelahiran anak
  3. Mendidik anak  dengan cara memberi nama yang baik
  4. Menyusui bayi (ASI)
  5.  Memilih teman bermain si anak.
  6. Mengisi waktu luang anak-anak dengan kegiatan yang bermanfaat bagi perkembangannya.
  7. Pembinaan dan mencontohkan
  8. Hindari konflik ibu-bapak di depan anak
  9. Melaksanakan peribadatan dengan teratur
  10. Orang tua menyeru anaknya ikut aktif dalam berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan.


[1] Alwi Hasan, KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA ED.III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hal.263
[2] Ibid, hal.536