Kamis, 21 April 2011

Intiqol madzhab


       Apakah setiap muslim di masa sekarang harus mengikat dirinya dengan salah satu madzhab yang ada dan selalu mengambil pendapat madzhabnya saja, atau bolehkah kita berganti-ganti pegangan dan mengambil pendapat yang paling ''''ringan'''' dari beberapa madzhab pada setiap masalah?
       Memang ada sedikit beda pendapat tentang masalah kesetiaan pada satu madzhab ini. Ada beberapa pendapat ulama yang menganjurkan agar kita tidak terlalu mudah bergonta-ganti madzhab. Bahkan ada juga yang sampai melarangnya hingga mengharamkannya. Sementara itu umumnya ulama tidak sampai mewajibkannya.
       Hujjah mereka yang mengharuskan berpegang pada satu madzhab adalah agar tidak terjadi kerancuan dalam aplikasi ibadah. Sebab tiap-tiap madzhab dihasilkan dari suatu logika ijthad yang sistematis, teratur dan runtut. Sehingga menurut pendapat ini, kita tidak boleh main campur aduk begitu saja hasil-hasil ijtihad yang metologinya saling berbeda.
Harus ada sebuah logika yang runtut dan konsekuensi untuk tiap-tiap ijtihad. Karena itu sebagian ulama yang masuk ke dalam kelompok in berpendapat tidak bolehnya bergonta-ganti madzhab.

       Sedangkan pendapat yang berlawan mengatakan sebenarnya kalau diteliti lebih dalam, tidak ada kewajiban dari nash baik Quran maupun sunnah yang mengharuskan hal itu. Umumnya para ulama mengatakan bahwa setiap orang bebas untuk memilih mazhab mana yang ingin dipegangnya. Termasuk bila seseorang harus berganti madzhab berkali-kali
Dalilnya adalah bahwa dahulu Rasulullah SAW tidak pernah mewajibkan untuk bertanya kepada satu orang shahabat saja. Tetapi siapa saja dari shahabat yang punya pengetahuan tentang suatu masalah, boleh dijadikan rujukan. Sebagaimana firman Allah:
Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS An-Nahl: 43)
       Ayat ini tidak mewajibkan bila sudah bertanya kepada satu orang, maka tidak boleh lagi bertanya kepada orang lain. Ayat ini hanya mensyaratkan bahwa kita wajib bertanya kalau tidak tahu, agar dapat beribadah dengan benar. Namun tidak boleh bertanya kepada sembarang orang, harus kepada ahluz-zikr, yang diterjemahkan sebagai ulama, fuqaha'''' ahli ilmu syariah yang kompeten dan benar-benar menguasai bidangnya. Tapi tidak mengharuskan hanya pada satu orang saja.
       Di tengah beda pendapat antara dua ''''kubu'''' ini, kami lebih cenderung kepada pendapat yang memudahkan. Yaitu pendapat yang intinya tidak bikin susah seorang yang ingin menjalankan agamanya. Dan kondisi bisa saja berbeda-beda untuk tiap orang.
Di tempat tertentu, ada mungkin seorang ''''alim yang sangat menguasai ilmu agama dalam versi madzhab tertentu. Boleh dibilang bahwa dalam semua masalah agama, beliaulah satu-satunya rujukan yang ada. Meski ilmunya hanya dengan satu paham madzhab saja. Maka seorang muslim awam boleh bertanya kepada beliau dan menjadikannya sebagai rujukan dalam masalah agama.
       Tidak ada kewajiban bagi si awam ini untuk melakukan konsultasi silang kepada ulama lain yang tidak terjangkau baginya. Asalkan si ''''alim itu memang seorang yang menguasai masalah fiqih, cukuplah bagi masyarakat di sekitarnya menjadikan pendapat-pendapat beliau sebagai rujukan. Atau dalam bahasa lainnya, bertaqlid kepadanya. Tetapi bertaqlid di sini bukan kewajiban, melainkan justru memudahkan. Sifatnya bukan keharusan, tetapi kebolehan.
       Di tempat lain boleh jadi ada surplus ulama, misalnya di situ berkumpul beberapa ulama dari beberapa madzhab yang saling. Maka buat orang-orang awam yang tinggal di tempat itu, boleh saja mereka berguru kepada masing-masing ulama dari beberapa madzhab itu. Tidak ada keharusan untuk ''''selalu setia sepanjang masa'''' dalam menjalankan pendapat dari ulama tertentu dari mereka. Sebagaimana juga tidak ada larangan untuk tetap setia kepada satu saja dari mereka.
       Ini yang kami maksud dengan prinsip yang memudahkan. Bila di suatu tempat hanya ada satu ulama, kita boleh bermadzhab satu saja, tidak wajib berpindah-pindah madzhab. Karena pindah-pindahitu justru menyulitkan.
       Sebaliknya, bila di suatu tempat ada banyak sumber ilmu dari beragam madzhab, boleh-boleh saja untuk membandingkannya dan memilih pendapat yang menurut kita paling kuat dalilnya. Tetapi juga tidak ada larangan untuk tetap berpegang saja pada satu madzhab, meski di sekeliling terdapat banyak madzhab lain. Artinya, yang mana saja yang kita ikuti, selama suatu pendapat keluar dari seorang ulama yang kompeten dalam masalah istimbath hukum fiqih, silahkan saja. If'al wa laa haraj, lakukan dan tidak ada keberatan.
Dalam Satu Madzhab Bisa Saja Ada Banyak Pendapat. Apa yang kami sampaikan ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa di dalam satu madzhab pun sangat mungkin terjadi perbedaan-perbedaan lagi. Kalau kita umpamakan, anggaplah ada madzhab 1, 2, 3 dan 4. Terhadap suatu masalah, sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat di antara keempat madzhab itu. Tapi kalau kita teliti di madzhab 1, ternyata masih ada perbedaan lagi.
Kita misalkan ada tiga pendapat yaitu pendapat a, b dan c. Di dalam madzhab 2, juga adalagi berpedaan pendapat, yaitu pendapat a, b dan c. Bukan itu saja, ternyata di dalam madzhab 3 ada juga perbedaan pendapat yaitu pendapat a, b dan c. Demikian juga di dalam madzhab 4, ada tiga pendapat yang berbeda, yaitu pendapat a, b dan c.
Maka kita akan punya 12 pendapat yang berbeda-beda, bukan hanya 4 pendapat saja.

Dan sangat boleh jadi, pecahan pendapat dari suatu madzhab justru punya kesamaan dengan pecahan pendapat dari madzhab lainnya. Misalnya, pendapat mazhab 1b sama dengan pendapat madzhab 3c. Pendapat madzhab 4 d sama dengan pendapat 2 d.

Kalau sudah begini, bagaimana kita mengatakan bahwa kita wajib berpegang teguh hanya pada satu madzhab saja? Padahal di dalam madzhab itu ada begitu banyak variasi pendapat?

Pendapat Suatu Madzhab Mungkin Saja Dikoreksi

Berpegang hanya pada satu madzhab saja ternyata tidak terlalu mudah. Sebab boleh jadi pendapat dalam satu madzhab berganti-ganti.

Jangan dibayangkan bahwa tiap-tiap hasil ijtihad dari suatu madzhab bersifat mutlak dan tidak bisa diubah lagi. Sebagian dari hasil ijtihad madzhab-madzhab itu sangat mungkin untuk dikoreksi dan diubah oleh ulamanya.

Ambillah contoh Al-Imam As-Syafi''''i rahimahullah, yang punya dua versi dalam madzhabnya, yaitu qaul qadim dan qaul jadid. Sebagai contoh aplikatif, dalam qaul qadim-nya beliau berpendapat bahwa tayammum itu harus mengusapkan debu ke kedua tangan hingga kedua tapak tangan saja, tidak perlu sampai siku seperti dalam wudhu.

Namun dalam qaul jadid-nya, beliau mengoreksi hasil ijtihadnya dan mengatakan bahwa mengusapkan debu ketika tayammum harus sampai ke kedua siku, sebagaimana dalam wudhu''''.

Orang Awam Bingung Pengelompokan Berdasarkan Madzhab

Dan yang paling menjadi hujjah tidak harusnya kita berpegang pada satu madzhab saja adalah bahwa kita sulit mengidentifikasi suatu pendapat itu merupakan produk madzhab mana.

Khususnya hal ini terjadi di wilayah di mana syariat Islam tidak diajarkan berdasarkan satu madzhab saja. Seperti yang umumnya dialami oleh muslim perkotaan. Sebab mereka punya akses yang begitu banyak, akibat padatnya arus informasi beragamnya kemungkinan akses kepada beragam ilmu syariah.

Kalau kita wajibkan mereka bermadzhab dengan satu madzhab saja, justru menyulitkan, sebab mereka justru tidak tahu, detail-detail ibadah mereka itu sesuai dengan madzhab yang mana.

Apakah dalam keadaan demikian kita mengatakan bahwa sebelum menjalankan shalat, seseorang diwajibkan mencari runtutan identitas madzhabnya? Apakah kita akan bilang shalatnya tidak sah kalau tidak tahu versi madzhabnya?
Tentu hal ini justru sangat memberatkan dan jadi beban tersendiri. Sebab adanya madzhab-madzhab ulama justru untuk memudahkan orang awam, sehingga tidak perlu lagi mereka direpotkan untuk berijtihad sendiri. Sesuatu yang boleh dibilang mustahil buat orang awam, mengingatkan syarat bolehnya berijtihad itu lumayan berat.

Allah dan Rasulullah SAW tidak pernah mewajibkan kita untuk berpegang kepada satu pendapat saja dari pendapat yang telah diberikan ulama. Bahkan para shahabat Rasulullah SAW dahulu pun tidak pernah diperintahkan oleh beliau untuk merujuk kepada pendapat salah satu dari shahabat bila mereka mendapatkan masalah agama. Maka tidak pada tempatnya bila kita saat ini membuat kotak-kotak sendiri dan mengatakan bahwa setiap orang harus berpegang teguh pada satu pendapat saja dan tidak boleh berpindah mazhab.
Bahkan pada hakikatnya, setiap mazhab besar yang ada itupun sering berganti pendapat juga.
Lihatlah bagaimana dahulu Al-Imam Asy-syafi'i merevisi mazhab qadimnya dengan mazhab jadid.
Bahkan tidak sedikit diantara mereka yang masih menggantungkan pendapat kepada masukan dari orang lain. Misalnya ungkapan paling masyhur dari mereka adalah : "Apabila suatu hadits itu shahih, maka menjadi mazhabku". Itu berarti seorang imam bisa saja tawaqquf (belum berpendadapat) atau memberikan peluang berubahnya fatwa bila terbukti ada dalil yang lebih kuat. Maka perubahan pendapat dalam mazhab itu sangat mungkin terjadi.
Bila di dalam sebuah mazhab bisa dimungkinkan terjadinya perubahan fatwa, maka hal itu juga bermakna bahwa bisa saja seorang berpindah pendapat dari satu kepada yang lainnya.
Hukum Berpindah-pindah Mazhab Para ulama memberikan pandangan dalam fenomena ini dalam beberapa point :
a. Ashabus Syafi`i, Asy-syairazi, Al-Khathib Al-Baghdadi, Ibnu Shibagh, Al-Baqillany dan Al-Amidy mengatakan bahwa seseorang berhak untuk memilih mana saja dari pendapat para ulama mazhab, termasuk mencari yang mudah-mudahnya saja. Dasarnya adalah ijma` para shahabat yang tidak mengingkari seseorang mengambil pendapat yang marjuh sementara ada pendapat yang lebih rajih. Dan sebaliknya, justru Rasulullah SAW selalu memilih yang termudah dari pilihan yang ada.
Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW sangat menyukai apa-apa yang termudah buat umatnya". (HR. Bukhari)
Bahwa Rasulullah SAW tidak pernah didudukkan pada dua pilihan kecuali beliau selalu memilih pilihan yang paling mudah, selama tidak berdosa. (H.R. Al-Bukhari , Malik dan At-Tirmizy).
Rasulullah SAW bersabda,"Aku diutus dengan agama yang hanif dan toleran".
(HR. Ahmad).
b. Ahluz Zahir mengatakan bahwa seseorang wajib mengambil pendapat yang paling berat dan paling sulit.
c. Kalangan Al-Malikiyah dan Al-Ghazali serta Al-Hanabilah mengatakan bahwa tidak boleh seseorang berpindah-pindah mazhab hanya sekedar mengikuti hawa nafsu dan mencari yang paling ringan saja. Karena syariat melarang seseorang mengikuti hawa nafsunya saja. Allah SWT berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul , dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa : 59).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar