Ijtihad dan Urgensinya dalam Hukum Islam
Tidak ada seorang atau kelompok manapun dalam Islam yang mengingkari adanya konsep universalime syariat Islam. Bahwa syariat Islam adalah tatanan dan aturan hidup yang komprehensif. Di satu sisi, dialektika sejarah selalu melahirkan berbagai problematika hidup dan pada sisi yang lain Islam hadir dan siap menyediakan referensi normatif (baca;wahyu) atas berbagai persoalan tersebut.
Islam mengatur segala aspek kehidupan dari mulai hal yang terkecil sampai pada hal yang diluar jangkauan manusia (gaib dan metafisik). Maka dapat dipastikan, manusia muslim, terutama para ulamanya senantiasa berusaha menjelaskan kepada siapa saja bahwa Islam adalah agama yang tepat untuk dianut. Munculnya permasalahan-permasalahan baru yang menuntut legalitas hukum selalu dicarikan solusinya dalam al-Quran dan Sunah. Kalaupun tidak didapatkan di dalamnya, mereka akan berusaha dengan keras mencarikan jalan keluarnya, dan tentu dengan metode-metode sistematis yang telah disepakati (ijmak). Inilah yang dimaksud dengan ijtihad, yaitu usaha seoarang muslim untuk menentukan hukum pada sebuah realitas dengan mengambil dalil-dalil syar’i atau dengan kata lain (menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah) ijtihad yaitu mencurahkan segenap kemampuan berfikir dalam menggali dan merumuskan hukum Islam baik dalam bidang akidah, filsafat, tasawuf, maupun disiplin ilmu lainnya berdasarkan wahyu dengan pendekatan tertentu.
Dalam Islam, ijtihad merupakan bahasan yang tak henti-hentinya dan menjadi kajian ramai para ulama zaman klasik hingga sekarang, sebut saja misalnya Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa-nya. Demikian juga dengan Imam as-Syaukani dalam bukunya Irsyad al-Fukhul sampai pada ulama-ulama kontemporer semisal Abdul Wahab Khalaf, Yusuf Qaradhawi, Wahbah Zuhaili, dan Ali Jum'ah. Bahkan hampir di setiap buku-buku ushul fikih selalu disisakan ruang pembahasan resmi tentang ijtihad. Adapun sandaran teks-teks keagamaan yang mengatakan bahwa ijtihad masih relevan sampai zaman sekarang diantaranya adalah Firman-Nya: “Fain tanâza’tum fî syaiin farudduhu ilalLâh wa al-Rasuli inkuntum tu’minu bilLahi wal-yaumu al-âkhir” (QS:4:59). Adanya kalimat “al-rad” dalam ayat tersebut mengindikasikan akan adanya ijtihad yang harus dilakukan oleh manusia. Selain itu, ayat lain menyebutkan “wa amruhum syurâ bainahum”, kata “syura” dalam ayat tersebut mengandung arti pembahasan segala sesuatu untuk menentukan hukum syar’i pada setiap permasalahan dengan merujuk pada dalil yang terdapat pada nash ataupun tidak. Hal ini tidak lain merupakan suatu ijtihad. Begitu juga dengan perkataan Rasul yang menyebutkan bahwa Allah akan mengutus seorang pembaharu agama pada umat Islam dalam setiap seratus tahunnya. Pembaharu (mujaddid) tersebut sudah barang tentu adalah orang yang memiliki pengetahan yang luas dan kafa’ah dalam ilmu syariah sehingga mampu menghidupkan Sunah dan menghindari bidah. Tidak lain adalah ijtihad itu sendiri. Dalam hadis lain, Nabi mengatakan bahwa apabila seseorang berijtihad dan dia benar maka baginya dua pahala, namun bila dia salah maka baginya satu pahala. Begitu juga dengan perizinan Nabi kepada sahabat Mu’adz bin Jabal ra. ketika mengutusnya ke Yaman untuk tidak mengapa berijtihad ketika di dalam al-Quran dan Sunah tidak didapati legalitas sebuah obyek.
Bersama dengan hal ini, maka sepatutnya kita mengatakan bahwa pintu ijtihad sampai sekarang masih terbuka, bahkan menjadi suatu kebutuhan yang primer terutama pada era globalisasi seperti sekarang ini, dimana perkembangan teknologi dan munculnya permasalahan-permasalahan baru selalu menuntut legalitas hukum. Oleh karenanya hampir semua ulama menyatakan akan wajibnya berijtihad bagi siapa saja yang telah mampu dan memenuhi kriteria untuk berijtihad. Dr. Wahbah Zuhali, ulama kontemporer dari Damaskus Siria berpendapat, bahwa tuntutan perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan di masa ini mengharuskan kita untuk menggunakan ijtihad sebagai instrumen pengambilan hukum. Hal senada juga di ungkapkan oleh Abdurrahman Zaidi dalam risalah magister-nya yang berkenaan dengan masalah ijtihad, ia menyatakan bahwa ijtihad merupakan perbuatan yang terpuji bahkan dharuri, hal itu didasarkan pada dua alasan utama. Pertama, tidak diperbolehkannya seorang muslim menggunakan hawa nafsunya dalam memutuskan hukum pada setia kejadian dan masalah-masalah baru, maka menjadi wajib bagi kita menggunakan ijtihad. Kedua, sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama akan kebutuhan berijtihad dalam menentukan hukum pada setiap permasalahan yang ada.
Maka, pendapat yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup pada dasarnya hal itu disandarkan pada sejarah dimana ketika abad ke-4 Hijriyah umat Islam saat itu mengalami perpecahan. Dr Ahmad Buud (2006) berhipotesa akan beberapa hal yang menyebabkan kemandegan dalam berijtihad saat itu diantaranya adalah, pertama, fanatisme mazhabiyyah tertentu. Kedua, hilangnya rasa kebebasan individu, karena pada masa tersebut, otoritas pemerintahan dipegang oleh seorang raja (hegemoni kekuasaan) bukan lagi khalifah. Ketiga, para ulama fikih sendiri banyak yang terjerumus pada urusan politik, sehingga fatwa-fatwa mereka lebih banyak digantungkan pada kondisi politik tertentu atau saat itu. Keempat, terpecahnya Daulah al-Islamiyah menjadi beberapa wilayah, sehingga proses kreatif berijtihad menjadi sedikit terhambat.
Kemandegan berijtihad tersebut pada akhirnya banyak menimbulkan pengaruh negatif bagi umat Islam itu sendiri, diantaranya tercerabutnya nilai-nilai dakwah dari sistem Islam itu sendiri. Terlihat seakan-akan ada jurang pemisah antara syariah dengan fenomena hidup yang terjadi. Padahal hakekatnya, syariat Islam selamanya akan sesuai dengan dilalektika hidup. Namun seiring berjalannya waktu, akhirnya membawa umat Islam pada sebuah kesadaran bahwa Islam dengan sistem holistiknya tidak akan bisa berkembang jika pintu ijtihad tertutup. Titik kesadaran umat Islam juga mulai sembuh dengan adanya usaha merekonstruksi kembali pemahaman Islam, yang tak lain adalah pembumian kembali konsep ijtihad tadi. Akhirnya dunia Islampun senantiasa membuka pintu selebar-lebarnya kepada para mujtahid untuk berijtihad dan berkreasi.
Uraian diatas sebenarnya mengerucut pada pembahasan mengenai pentingnya ijtihad dan urgensinya dalam kehidupan kita, sebagai upaya pembumian syariat islam yang kita yakini sebagai manhaj hidup. Dengan ijtihad, maka syariat Islam selamanya akan terlihat eliminer dalam berbagai ruang dan waktu. Tak ayal, ijtihad di era kontemporer adalah suatu keniscayaan.
Dasar-Dasar Ijtihad Kontemporer
Saat ini, diyakini manusia telah mencapai puncak kehidupan mutakhirnya, dimana kamus mengistilahkannya dengan "globalisasi", artinya dunia semakin mengecil dan segala sesuatu sangat mudah kita dapatkan dengan ditandai akan berbagai perkembangan teknologi. Dunia tak ubahnya seperti sebuah desa kecil. Seakan sudah tidak ada lagi sekat dan jarak yang memisahkan manusia. Namun, seiring dengan laju perkembangan zaman, maka bertambah pula permasalahan baru yang muncul dan menuntut pembuktian Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin untuk memberikan solusi yang tepat. Hal ini pada akhirnya menuntut seorang mujtahid yang mempunyai otoritas dalam menentukan hukum untuk turut menyelesaikan problematika kehidupan umat. Dr Ahmad Buud (2006), menambahkan, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi karakteristik dan dampak negatif maupun positif dari modernitas, diantaranya adalah, pertama, semakin terbebasnya manusia dari kejumudan dan taklid yang membutakan. Kedua, kemajuan dan perkembangan teknologi, terutama dari Barat. Ketiga, kegandrungan masyarakat dunia pada kacamata (worldview) Barat, hingga tersebar paham sekulerisme dan liberalisme di dunia Islam. Keempat, kebangkitan umat Islam mengejar ketertinggalannya dari Barat.
Di sisi lain, pada hakekatnya tidak ada perbedaan mendasar antara sebuah tuntutan kebangkitan ruh berijtihad sebagai sebuah bentuk gerakan pencerahan (aukflarung) dengan kewajiban beragama itu sendiri. Keduanya memiliki akar dan titik tolak yang sama, dimana tujuan keduanya akan bermuara pada pembumian firman-Nya (QS:2:30), yaitu bahwa manusia diutus ke bumi tak lain adalah sebagai khalifah-Nya. Maka manusia berbeda dengan makhluk lain, ia diberi kelebihan akal. Manusia dapat berfikir dan mampu membedakan hal yang baik dan buruk, sehingga tidak heran apabila manusia disebut oleh Allah sebagai sebaik-baik makhluk ciptaan-Nya. Hal ini jugalah yang menjadi alasan bagi Allah kenapa Dia menurunkan wahyu-Nya dalam bentuk nash-nash yang global. Disamping RasululLah yang diutus untuk menjelaskan isi kandungan al-Quran, juga menjadi tugas manusia sebagai hamba yang berakal untuk menggali teks-teks tersebut, terutama pada problematika baru yang datang sesudah Rasulullah Saw. mangkat. Kaitanya dalam hal ini, Dr Ahmad Bu’ud dalam bukunya , Ijtihad, baina haqaiq al-tarikh wa mutathalibat al-waqi, memberikan rambu dan perangkat utama pada seorang mujtahid untuk berijtihad di era kontemporer ini.
Pertama, fikih nashiy dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Hal yang paling pertama dilakukan oleh seorang mujtahid ketika berijtihad adalah mencari landasan dalil-dalil hukum yang terdapat dalam al-Quran dan Sunah. Baik permasalahan yang sudah terdapat teks-teks resminya maupun yang belum. Ini penting dilakukan mengingat keduanya, al-Quran dan Sunah adalah dua sumber entitas resmi agama Islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam hal ini, juga harus dihindari kesalahan-kesalahan dalam memahami teks (nash).
Penggalian hukum tidak cukup hanya dengan bermodalkan keislaman dan keimanan serta pemahaman awal seseorang terhadap nash-nash saja. Juga tidak cukup dengan satu, dua atau tiga orang saja. Lebih dari itu untuk kemaslahatan umat dan ketepatan berijtihad, diperlukan kerjasama semua komponen yang berkaitan dengan masalah tersebut, agar produk hukum tersebut menjadi kuat dan bijak. Di samping itu beberapa kaidah dalam memahami teks yang perlu dimiliki oleh seorang mujtahid diantaranya; (a). memiliki kapabilitas dalam pengetahuan bahasa Arab, (b). mengetahui sebab turunnya sebuah ayat atau hadis (asbab al-nuzul wa al-wurud), (c). mengetahui tujuan atau maksud dari turunnya ayat tersebut (maqashid al-Syari'ah).
Kedua, fikih realitas (al-waqa'iy) Hal kedua yang harus dilakukan oleh mujtahid setelah memahami teks al-Quran dan Sunah adalah memahami realita atau yang sering diistilahkan dengan fiqh al-waqi’, yaitu pemahaman yang integral terhadap sebuah obyek atau realitas yang dihadapi oleh manusia dalam ranah hidupnya. Adapun hal-hal yang mencakup fiqh al-waqi’ adalah: (a). Memahami dan mengetahui pengaruh-pengaruh alami yang muncul di lingkungan sekitarnya, terutama kondisi geografis wilayah tertentu dimana mujtahid tersebut hidup dan tinggal. (b). Mengetahui kondisi sosial kemasyarakatan dan transformasinya dalam berbagai bentuk yang memiliki keterikatan sosial dengan manusia. Yang dimaksud dengan keterikatan sosial disini adalah segala sesuatu yang berhubungan antara satu orang dengan yang lainnya apapun jenis hubungan tersebut, baik dalam ranah agama, budaya, ekonomi, politik atau militer. (c). Di samping memahami realita sosial yang melingkupi sebuah permasalahan, seorang mujtahid juga dituntut untuk mempelajari kondisi psikologi manusia sekitarnya. Karena antara realitas dan sisi dalam kemanusiaan individu manusia memiliki keterikatan yang kuat, keduanya tidak bisa dipisahkan.
Ketiga, ijtihad kolektif (jama'iy). Masih menurut Dr Ahmad Bu’ud, ijtihad kontemporer hanya bisa dilakukan dengan merealisasikan ijtihad kolektif (ijtihâd jamâ’îy), kecuali ketika keadaan benar-benar mendesak. Kebutuhan ijtihad kolektif didasari oleh realita dan problematika masyarakat yang komplikatif, yang tidak bisa hanya diselesaikan oleh individu perorangan saja, walaupun orang tersebut memilki kapabilitas. Maka, keberadaan sebuah lembaga atau institusi yang mengakomodir para mujtahid dari berbagai bidang ilmu, mutlak diperlukan di era kontemporer ini. Terpahami, bahwa keberadaan ijtihad kolektif ini akan tercermin dalam sebuah aktifitas musyawarah (syûrâ). Dari sinilah titik temu (problem solving) dari sebuah permasalahan akan ditemukan.
Inilah yang disebut ijtihad, dimana syarat-syarat para mujtahid yang disebutkan terpenuhi di dalamnya. Mereka berijtihad membahas problematika umat, masing-masing dengan argumentasi dan dalil-dalil yang didasarkan pada nash-nash wahyu dan maqashid as-syâri’ah. Juga bisa kita sebut sebagai musyawarah (syûra), karena di dalamnya mampu menampung komunitas tertentu yang bersama-sama membahas dan memusyawarahkan permasalahan. Usaha seorang mujtahid dan ijtihadnya tidak bisa dikatakan sebagai ijtihad kolektif sebelum terealisasikan dalam sebuah aktifitas musyawarah. Musyawarah tersebutpun tidak bisa terwujud kecuali dengan dihadiri oleh para mujtahid yang memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid serta memiliki kapabilitas dan keahlian di bidangnya masing-masing.
Pertanyaannya, bagaimanakah aplikasi ijtihad kolektif (ijtihâd jamâ’î) pada era sekarang ini? Saat ini kita bisa melihat ijtihad kolektif tersebut termanifestikan dalam berbagai bentuk lembaga ijtihad. Seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Majma' al-buhuts al-Islamiyyah al-Azhar, Lembaga Fatwa Mesir (Dâr Iftâ' Mishriy), Lembaga Fikih Islam Mekah yang berpusat di Jedah, Majelis Fatwa Eropa dan Amerika Utara dan masih banyak lagi lembaga-lembaga Islam yang bergerak dalam bidang ijtihad. Lembaga ijtihad tersebut mengakomodir para ulama yang mempunyai wewenang dalam memutuskan hukum tersebut. Dr. Qutub Musthafa Sanu membagi tiga macam bentuk ijtihad kolektif yang ada pada zaman ini dan masing-masing memiliki tugas-tugas tertentu.
(a). Lembaga Ijtihad Lokal (wilayah atau provinsi), yang melihat dan membahas permasalahan-permasalahan lokal atau wilayah tertentu. Lembaga inilah yang kemudian mempunyai keterikatan dan hubungan dengan masyarakat atau suatu komunitas. Maka lembaga ini dituntut untuk benar-benar memusatkan perhatiannya pada perkembangan masyarakat tersebut agar tercipta kemaslahatan di dalamnya. Semisal Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah provinsi Sumatera Selatan yang berkedudukan di Ogan Komering Palembang Indonesia.
(b). Lembaga Ijtihad Regional. Lembaga ini mempunyai tugas untuk membahas problematika masyatrakat dalam sekup wilayah regional yang memiliki sifat, kebiasaan, tradisi yang mengikat dan kemaslahatan bersama. Biasanya strukturnya setingkat negara, seperti MUI atau Dâr Iftâ' Mishriy.
(c). Lembaga Ijtihad Internasional. Lembaga ijtihad ini hadir untuk membahas problematika umat kekinian dengan sekup internasional, seperti Lembaga fatwa milik OKI (Organisasi Konferensi Islam). Biasanya lembaga tersebut mengadakan muktamar tahunan guna membahas permasalahan-permasalahan umat yang terjadi di belahan dunia Islam.
Fenomena Ijtihad Kontemporer di Indonesia
Indonesia, seperti yang telah kita ketahui, adalah sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Dan Muhammadiyah serta Nahdhatul Ulama adalah dua organisasi Islam (sosial keagamaan) yang terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Keduanya memiliki kemiripan dalam visi dan misinya yaitu untuk mengembalikan kejayaan umat Islam serta membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Banyaknya permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia, menuntut kedua organisasi tersebut untuk ikut andil dalam menyelesaikannya. Terkait dalam hal ini, kita tahu ada lembaga ijtihad yang ada pada tubuh kedua organisasi ini. Di Muhammadiyah kita mengenalnya dengan Majelis Tarjih dan Tajdid dan dalam Nahdhatul Ulama kita mengenal Bahsul Masa'il. Atau kalau di Persatuan Islam (Persis), kita mengenal Dewan Buhus Islamiyyah. Sedangkan lembaga ijtihad lain yang lebih independen dan di bawah naungan pemerintah (Departemen Agama Indonesia) adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lembaga-lembaga ijtihad ini memilki orientasi dan tugas yang sama, yaitu sama-sama membahas dan memecahkan problematika umat terutama dalam berbagai permasalahan yang terkait dengan hukum-hukum Islam. Namun demikian, masing-masing memiliki manhaj pemikiran yang berbeda. Manhaj pemikiran yang dimaksud adalah sebuah kerangka kerja metodologis dalam merumuskan masalah pemikiran dan prosedur-prosedur penyelesaiannya. Di dalamnya memuat asumsi dasar, prinsip pengembangan, metodologi sekaligus operasionalisasinya. Maka tidak heran kalau terkadang terjadi perbedaan-perbedaan dalam memutuskan perkara-perkara tertentu. semacam penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal Idul Fitri. Walaupun demikian, ketiga lembaga ijtihad tersebut dan berbagai lembaga ijtihad lainnya yang berada di Indonesia, dalam dinamika kesejarahannya selalu berusaha merespon berbagai perkembangan kehidupan dengan senantiasa merujuk pada ajaran Islam. Kehadiran beberapa lembaga Ijtihad di Indonesia pada dasarnya bukan untuk saling berbeda, tetapi justru untuk saling melengkapi. Adapun perbedaan yang terjadi tidak pada masalah-masalah fundamental (tauhid), tetapi pada masalah-masalah yang furu’. Dan kita semua tahu bahwa permasalahan yang sifatnya furu’ merupakan lahan ijtihad bagi para mujtahid. Oleh karenanya, sekarang bukan saatnya kita untuk saling bertengkar dan berselisih hanya karena berbeda ijtihad. Sebagai negara yang memiliki penduduk Islam terbesar di dunia, sudah saatnya kita bersikap dewasa dan moderat. Dengan kedua sikap tersebut, kontekstualisasi ijtihad sebagai bagian penyegaran kehidupan keagamaan umat bisa dinilai berhasil.